26. Papa Penguin

1.4K 234 105
                                    

"Jangan menangis, Rose."

Sejak kecil, ibuku sering mengatakannya. Dia bilang, aku tidak boleh cengeng. Kalau ada yang menjahiliku di sekolah, aku harus melaporkannya pada guru. Jangan takut. Jangan hanya diam. Jika perlu lawan. Kalau ada yang mengambil mainanku, rebut. Karena air mata takkan menyelesaikan masalah.

Pokoknya jangan menangis.

Itu bukan karena didikan ibu terlalu keras, tapi karena dia menyayangiku. Ibu tidak ingin aku jadi anak manja; yang pulang dengan pipi basah ketika diejek teman, atau merengek ketika bekal makananku diambil.

Oh tidak. Roseanne Park tidak boleh jadi seperti itu.

Dia harus sekuat karang. Setegak pohon yang tak bisa tumbang. Bangun lagi ketika jatuh, terus berlari meski tujuan masih jauh.

Aku bukan perempuan lemah.

Tapi bersama dia, laki-laki dengan parfum maskulin dan pelukan sehangat api unggun di musim dingin, semua prinsipku hilang. Sikap sok tegarku lenyap. Jaehyun seolah berkata; tidak apa-apa menangis. Tidak apa-apa jatuh sebentar dan berhenti. Karena nanti, kita akan berdiri lagi. Karena aku tidak sendiri.

Ada dia di sampingku.

"Kau baik-baik saja?" Jaehyun bertanya. Begitu lembut. Begitu halus. Ia berlutut di depanku, dengan dahi yang sedikit berkeringat. Habis berlari sepertinya. "Aku takut sekali tadi..."

Lalu entah refleks atau murni keinginannya, dia meraih jari-jemariku yang masih di hias jarum infus, lalu mengecupnya.

Hatiku rasanya meleleh. Aku tahu Jaehyun adalah tipe pria romantis, tapi perlakuan ini benar-benar di luar dugaan. Aku merasa sangat dicintai, seperti hari itu. "Sekarang sudah tidak apa-apa."

"Syukurlah..." Hembusan napas lega keluar dari sepasang bibir itu; bibir yang pernah membawaku terbang dengan sentuhannya, juga membisikkan kalimat cinta termanis. Pria yang berkata akan bertanggung jawab, dan membuktikannya hingga kini. "Jangan begini lagi, ya? Kau sudah makan? Mau sesuatu? Akan kubelikan untukmuapapun itu. Tinggal bilang saja."

Sejujurnya aku punya banyak keinginan, tapi tak satupun dari mereka pantas diutarakan. Mengatakannya hanya akan membuat Jaehyun terbebani, karena permintaanku takkan bisa ia kabulkan sekeras apapun ia berusaha. "Aku cuma ingin pulang, Jaehyun."

"Pulang?" Peristiwa kemarin pasti masih terekam jelas di ingatan Jaehyun. Kami sama-sama sadar bahwa kemungkinan besar, dia takkan mendapat sambutan hangat lagi di rumahku. Ia ragu, tapi tidak menunjukkan rasa takut. "Baiklah. Kalau memang sudah boleh, aku akan mengantarmu."

"Bukan kesana..." Aku menggeleng padanya, melirik Cherry sebentar, yang dengan terang-terangan menguping pembicaraan kami. Kata-kata dokter cerewet itu menyadarkanku bahwa aku harus memikirkan ulang keputusan soal aborsi. Dan untuk itu, aku butuh ketenangan. "Tapi ke tempat lain..."

Pemahaman menghampiri Jaehyun dengan cepat. Ia mengerti bahwa aku belum siap menghadapi orang tuaku, belum lagi konflik dengan Alice. Ada terlalu banyak masalah dan terlalu sedikit tenaga menghadapinya. Aku lelah. "Iya, tenang saja. Aku punya tempat kecil untuk kita."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bored ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang