***
Senja pertama sejak kedatangan mereka pun datang menyapa. Keindahan Sungai Han diikuti dengan nuansa warna orange sore itu semakin menambah suasana romantis di antara mereka.
Eh, wait.
Are they dating?
Ng....
Adiba membuka matanya tepat saat Senja menyambut.
Ia terkejut saat menyadari kepalanya berada di pundak Alby. Ia lebih terkejut dengan Alby yang hanya duduk sambil memandangi Sungai Han.
"Maaf, pak. Saya ketiduran," Adiba membenahi rambutnya yang terlihat sedikit berantakan.
Adiba merasa canggung berada di dalam mobil berdua dengan Alby. Ia berinisiatif untuk keluar dan mencari staff yang tadi menjemput mereka.
Tapi, tangan Alby menahan Adiba.
"Saya nunggu kamu bangun, saya gak mau bangunin kamu dan ganggu tidur kamu. Makanya, saya minta Joni buat ke sini, gak langsung ke Apartement," jelas Alby pada Adiba, yang ia yakini perempuan itu saat ini pasti bertanya-tanya kenapa mereka ada di sini.
Adiba merasa tidak enak saat Alby menjelaskan padanya.
"Maaf banget, pak. Saya nyusahin, pak Alby," ucap Adiba dengan perasaan menyesal.
"Gak apa-apa, saya juga mau berterimakasih karena saya jadi bisa ngeliat senja di Sungai Han. Senja di sini adalah yang terbaik. Saya mau di sini sebentar lagi, sebelum kita ke Apartement. Gak apa-apa, 'kan?"
Adiba membenahi posisi duduknya di samping Alby, dan mengangguk.
Bukan hanya Alby, Adiba pun ikut terkesima dengan indahnya senja di Sungai Han. Suasanya benar-benar membuatnya tenang.
Saat senja mulai meninggalkan tempatnya dan bersiap digantikan oleh sang malam, mereka pun akhirnya pulang menuju Apartement Alby yang berada tidak jauh dari sana.
Sesampainya di sana, kedatangan mereka sudah disambut oleh beberapa staff yang ada di sana. Dan, membantu mereka membawakan barang-barang mereka menuju lantai Apartement milik Alby yang ia sewa.
Staff mengantarkan Adiba ke ruangan nomor 202.
"Ini kamar mba Adiba," uajr Joni.
"Oh, iya. Makasih," ucap Adiba.
"Selamat istirahat."
Adiba menempati ruangan nomor 202 yang merupakan Apartment Alby. Sedangkan Alby menempati kamar 201 yang berada di sebelah kamar Adiba, yang juga merupakan miliknya.
Semua kamar yang berada di Lantai 9 gedung ini adalah milik Alby. Para staff yang Alby kirim untuk mengurus bisnisnya di Korea, ia berikan pelayanan tempat tinggal Apartement miliknya.
Oleh karenanya, para staff yang bekerja dengan Alby begitu senang. Karena, Alby selalu memperhatikan para staffnya dengan baik.
Setelah masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan, Adiba langsung merebahkan tubuhnya. Dan, bersiap untuk mandi.
Lain halnya dengan Alby, yang langsung merendamkan tubuhnya ke dalam bathtub.
Ia memejamkan matanya sambil merasakan air hangat menusuk kulitnya. Seakan lelah dan pegalnya hilang seketika.
Sebuah lagu terngiang di kepalanya.
Membuatnya semakin nyaman dan enggan beranjak dari air panas yang membelenggunya.
-
Tok.. tok...
Pintu kamar Adiba diketok. Ia beranjak dari kasurnya dan membukanya.
"Ya, pak?"
"Ini, makanan dari pak Alby."
Joni menyodorkan makanan pada Adiba.
"Pak Alby?"
"Iya, mba Adiba. Ini makanan Indonesia yang kami masak di sini. Pak Alby takut mba Adiba bingung mau makan apa. jadi, beliau meminta kami untuk memasak makanan Indonesia," jelas Joni.
Adiba terenyuh mendengarnya.
Ia mengulurkan tangannya untuk menerima makanan yang dibuat untuknya.
"Makasih ya, pak," Adiba tersenyum.
"Iya, mba."
Setelah Joni pergi, Adiba melirik ke arah kamar yang ada di sampingnya.
Haruskah ia berterimakasih sekarang? Atau, nanti saja? Atau, tidak perlu?
"Besok ajalah."
-
Tok.. tok... tok...
Giliran pintu kamar Alby yang diketuk. Dengan hanya mengenakan baju mandi, Alby membuka pintu kamarnya.
Adiba nyaris berteriak. Ia memalingkan wajahnya dari Alby yang hanya berbalut baju mandi. Ia menutup matanya, dan menoleh ke belakang.
"Kenapa?" tanya Alby dingin.
"Ng...Saya mau bilang terimakasih buat makanannya, pak."
Alby melipat kedua tangannya dan memandangi tingkah Adiba yang menurutnya aneh.
"Maksud saya, kamu kenapa begitu?"
Menyadari sikapnya yang aneh, Adiba merasa kikuk sendiri.
Yaelah, pake ditanya kenapa. Ini orang gak sadar apa dia cuma pake baju sehelai doang. Batinnya.
"Maaf, pak," Adiba pun berlalu dan masuk ke dalam kamarnya.
"Tuh 'kan gue bilang apa, harusnya besok aja terimakasihnya," rutuk ia pada dirinya sendiri.
Adiba merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mengingat kembali bagaimana ia bisa terlelap dan tertidur di bahu Alby. Melihat senja untuk pertama kalinya dengan laki-laki yang tidak pernah ia sangka. Atau, mengingat bagaimana Alby dengan rambuh orangenya yang basah.
Adiba hanya mampu senyum-senyum sendiri membayangkan Alby yang mulai bersikap baik padanya.
Ia kembali membayangkan bagaimana laki-laki dengan mata berwarna kecokelatan itu menatapnya dengan dingin. Membayangkan bagaimana nada suaranya yang datar itu pertama kali menyapanya.
Dan, membandingkan dengan sikapnya hari ini.
Membayangkan Alby dengan setia duduk dan menunggu ia tersadar dari tidurnya selama berjam-jam.
Perempuan mana yang gak meleleh kalo diperlakuin kayak gitu. Batinnya sambil tersenyum dengan merekah.
"Ah, bisa gila beneran gue. Sadar, Dib. Dia bos lo," ujarnya sambil mengusap wajahnya berkali-kali, untuk menyadarkan dirinya sendri dari lamunan tentang Alby.
Membayangkan Alby, selalu berakhir dengan senyuman di bibir tipis perempuan dengan rambut digerainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The CEO
General FictionAkhir dari sebuah cerita memang rahasia Semesta. Namun, usaha yang ditempuh tergantung masing-masing manusia. Mereka yang mau bertahan menyembuhkan luka. Atau, mereka yang menyerah begitu saja.