Lelah Yang Parah

0 0 0
                                    

Dua belas kali jam berdentang. Angin malam berdesir kencang, memainkan orkestra sumbang, sendiri, tak sedang berkawan kerik jangkrik atau sinar kunang-kunang. Bahkan kabarnya rembulan malam ini menolak datang. Aku meletakkan gawai untuk sejenak keluar menyapa angkasa, menerka garis waktu bersama awan kelabu yang tampaknya sedang tak senang. Boleh jadi ia mendengki pada namamu yang tertutur dengan riang setiap kali ia hadir menjelang. Boleh jadi kelabu adalah representasi diri yang tahu-tahu tersengat bimbang.

Bahwa, kalau nanti aku menghilang, aku ingin tahu apakah kau akan mencari serpih-serpih kisah yang sedikit namun terkenang, atau justru bagimu masa lalu adalah untuk dibuang, sehingga aku hanya mewujud sebagai memori di bawah timbunan bayang-bayang, tak layak mendapat sayang.

Kalau nanti aku lebih dahulu dipanggil pulang, aku ingin tahu apakah kau akan berdamai dengan masa lantas pergi sejauh jarak sanggup terentang, dengan aku sebagai jejak yang tertinggal di belakang, alih-alih menua tanpa hati yang ikut terkubur hilang, menyisakan sedikit bait-bait pertemuan yang jarang, sampai kelak pada senja-mu kau sirna ditelan petang.

Malam ini langit telanjang tanpa gemintang, aku semakin tak tenang. Jangan-jangan aku adalah sebatas pesan-pesan dengan dua centang. Jangan-jangan memang aku tercipta tak untuk datang.

Jangan-jangan kaulah definisi bahagia dan senang—bukan untukku, tetapi lain orang.

Subang, 2019

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang