2. Sure-Prise

10 1 0
                                    

"Ra, inget kan jadwal lo hari ini?" Wibi mengingatkanku bahwa minggu ini aku ada janji untuk menemui ibunya. Aku memang sering ke rumah Wibi untuk menemui ibunya, untuk sekadar menemani ibunya mengobrol, atau belajar masak, mengingat sebentar lagi aku akan ditinggal jauh oleh Naya. Sebagai anak kosan yang jauh dari orang tua, aku sudah menganggap orang tua Wibi juga sebagai orang tuaku. Wibi sangat menyayangi ibunya. Sehingga Wibi senang jika ada yang membuat ibunya senang. Ibunya Wibi sudah cukup tua, sehingga jarang sekali keluar rumah, hanya ada beberapa mahasiswa/i yang pernah diajar oleh beliau yang sesekali mengunjunginya. Wanita pensiunan dosen di salah satu universitas di Jakarta itu kerap kali menghabiskan waktunya untuk menulis. Salah satu hal yang juga menjadi hobby Wibi, hanya saja Wibi lebih senang menulis untuk dijadikan lirik lagu.

"Ingetlah, Bi. Nanti anterin gue ke minimarket dulu ya, gue mau beli bahan-bahan buat masak soto sokaraja. Minggu ini gue ada janji masak-masak nih sama mami." Mami. Begitulah aku memanggil wanita yang sangat disayangi Wibi itu.

"Siap, boss."

***

Rumah Wibi sudah terasa seperti rumahku sendiri. Disana, tempat ternyaman setelah rumah keluargaku di Bandung. Keluargaku pindah ke Bandung tepat setelah aku lulus SMA, karena mendadak ayahku dipindah tugaskan untuk bekerja disana. Aku yang sudah terlanjur daftar kuliah di Jakarta terpaksa harus melawan kerasnya Ibukota sendirian. Sebelum pindah, orang tuaku memang sudah menitipkan aku pada orang tuanya Wibi. Karena kami memang sudah bersahabat sejak dulu.

"Tera tinggal disini aja ya, sama mami?" ajak mami pada saat itu.

"Ah enggak usah deh mi, Tera ngekos aja biar mandiri"

"Iya mi, biarin aja dia ngekos, kalo disini nanti yang ada Wibi males pulang lagi ngeliat muka dia mulu" Wibi menimpali dengan ucapannya yang selalu menyebalkan

"Heh! Gue juga gak mau kali kalau setiap hari liat muka lo!" sambarku pada Wibi. Mami hanya tersenyum geli melihat kami. Katanya, ia seperti sedang mengasuh anak kembar jika melihat aku dan Wibi. Tentu saja itu membuatku protes besar, karena aku tidak mau dianggap kembar dengan makhluk menyebalkan macam dia.

***

"Tera sayang, sini deh." mami memanggilku

"Iya, mi? Kenapa?"

"Ini loh, ini garam apa gula ya, nduk?"

"Garam miiii.."

"Owalah.. maklum mami udah tua, udah ndak bisa bedain mana garam, mana gula" ucapnya dengan logat yang sangat khas, terdengar jelas sekali bahwa mami berasal dari Jawa Tengah, tepatnya Purwokerto. Oleh sebab itulah mami senang sekali masak masakan khas daerah asalnya tersebut.

"Duh, mi.. tapi mami masih bisa bedain kan, mana Tera, mana Wibi? Hehe"

"Oh, ya jelas.. Wibi itu anak mami paling ganteng, Tera anak mami paling cantik"

Tak beberapa lama, tercium aroma sedap dari kaldu daging sapi ditambah cita rasa kacang, bercampur dengan harum bawang putih yang amat pekat dan aku tambahkan cabai. Wibi terbatuk-batuk.

"Kenapa harus pake cabe sih" omelnya sambil tak berhenti batuk. Wibi memang sensitif terhadap bau-bauan menyengat.

"Ya kalo gak pake cabe, gak enak lah, Bi. Lagian lo juga sih, masa cowo gak suka pedes. Cemen lo!" ejekku pada Wibi yang sama sekali tak suka makanan pedas.

"Bukan salah gue dong kalo gue punya lidah yang kebarat-baratan." Sahutnya sambil nyengir

"Gaya lo!" balasku sambil melempar sendok plastik yang sedang aku pegang untuk mencicipi hasil masakanku dengan mami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang