💔 2. Bulan

44 3 0
                                    

            Senyap masih mengisi ruang tamu rumahku semenjak permintaan maaf Kak Candra.

Kak Candra masih di tempat yang sama saat ia datang. Matanya sesekali mencuri pandang ke arahku. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

Sementara aku, setelah mengobati lukanya memilih duduk di sofa sebelah kanannya. Menatap keluar jendela atau melihat apa yang sedang Kak Candra lakukan.

Aku tak marah. Sungguh, aku sama sekali tak marah padanya. Buat apa?Yang ia katakan memang benar adanya. Lagipula mama pernah bilang, marah dan benci hanya akan membuat kita memiliki penyakit hati. Setan akan terbahak-bahak melihatnya.

Aku malah berniat ingin mengatakan padanya. Mengambil notes dan pulpen kesayanganku dulu di kamar. Menulis semua fakta itu. Lalu memperlihatkan padanya. Sayangnya tak sopan meninggalkan tamu sendirian.

Huft .... Aku mengembuskan napas perlahan, yang membuat Kak Candra mengerutkan keningnya saat melihat tingkahku.

Aku beringsut dari sofa. Melangkah ke arah kamar. Jengah--maksudku lucu juga melihat wajah Kak Candra yang merasa bersalah. Wajah manisnya seperti meminta untuk dicubit, eh.

"Anggrek ...  mau ke mana?"

"Anggrek, aku minta maaf."

Aku tetap berjalan. Sampai di pintu kamar, tak terdengar lagi suara Kak Candra.

Segera kuambil notes dan pulpen yang ada di atas nakas. Lalu kembali ke ruang tamu.

Kak Candra yang ternyata sedang menunduk perlahan mengangkat wajahnya mendengar langkah kakiku.

Matanya menatap ingin tahu saat aku mulai menulis, sesekali melihat ke arahnya.

"Kak Candra, aku memang bisu. Sebenarnya, aku juga tak bisa mendengar. Tetapi, mama sudah memasangkan alat bantu dengar ditelingaku. Tentu saja Kak Candra tak bisa melihatnya. Karena tertutup oleh rambutku, bukan? Jadi, Kak Candra tak perlu meminta maaf. Itu memang faktanya. Tak perlu merasa bersalah juga, ya, Kak. Aku sudah terbiasa."

Aku menyerahkan notes itu ke Kak Candra. Walau terlihat ragu-ragu, ia tetap menerimanya.

Keningnya sesekali megernyit saat membaca kalimat yang kutulis. Setelah membacanya, Kak Candra mengembalikan lagi notesku. Tentu saja dengan tatapan menyebalkan itu. Tatapan yang kuterima sejak kecil hingga sekarang. Tatapan yang akhirnya kuketahui ... tatapan kasihan.

Tak jarang Kak Carika juga suka sekali mentapku demikian.

Aku mendengkus. Membuang pandang ke arah lain. Kenapa mendadak menyebalkan?

Kak Candra juga tak mengatakan apa-apa setelahnya. Tak ingin berteman dengan anak cacat sepertiku, mungkin.

"Assalamu'alaikum ...." Mama muncul di ambang pintu.

"Wa'alaikumussalam ...." jawab Kak Candra sambil baranjak berdiri. Aku juga ikut berdiri.

"Lukanya udah selesai diobati?" tanya   Mama sembari meneliti luka-luka Kak Candra.

"Sudah, Tante. Saya pamit pulang dulu, ya, Tante. Terima kasih."

"Loh, kok buru-buru? Makan siang dulu, yuk."

Kak Candra terlihat ragu-ragu, "lain kali saja, ya, Tante. Maaf," tolak Kak Candra halus.

"Yaudah, nggak apa-apa."

Sebelum mama mengantar Kak Candra ke depan, Kak Candra menoleh ke arahku. "Terima kasih, Anggrek. Sampai jumpa," ucapnya tulus.

Walau masih rada jengkel, aku mengangguk dan balas tersenyum. Ikut mengantar samapi pintu. Ada motor besar berwarna hitam di halaman.

Kak Candra awalnya akan berniat naik ke motor, tetapi urung ia lakukan. Malah kembali ke Mama. Mungkin ada yang ingin ia katakan. Entahlah. Aku memutuskan kembali ke dalam. Toh, tak penting.


💔💔💔

           "Gimana hari pertama sekolahmu?" Suara papa memecah keheningan makan malam.

"Seru, Pa. Aku udah daftar organisasi sama beberapa lomba." Kak Carika yang menjawab. Tentu saja.

Papa mengerutkan kening, "organisasi apa?"

"Organisasi drum band, Pa. Sepulang sekolah tadi seleksi. Dan aku lulus, eh iya, meskipun sudah lulus belum di bagikan posisinya." Kak Carika menjelaskan dengan riang di tengah kunyahannya. Kakakku memang hebat. Dia juga sangat pintar.

"Bagus. Belajar yang giat." Pesan papa yang diangguki semangat darah muda oleh Kak Carika.

"Belajar boleh, tapi jangan lupa jaga kesehatan, Rika. Karena sakit itu mahal," nasihat mama.

"Iya, Ma."

Kemudian ruangan ini dipenuhi oleh suara ketiga orang yang kusayangi. Papa menceritakan pekerjaannya hari ini, begitupun dengan mama yang menceritakan beberapa cerita lucu yang terjadi ditokonya. Setelahnya aku tak tahu.

Aku memilih mematikan benda di telinga dan menyuap kembali makanan ke dalam mulut. Cerita itu menyiksaku. Ah, aku bukan iri. Aku bahagia mendengar dan melihat mereka sesekali tertawa bahagia. Hanya saja buat apa mendengarkan keseluruhan ceritanya, kalau aku tidak bisa ikut dalam pembicaraan itu. Cukup bagian-bagian pentingnya saja, bukan?

💔💔💔


               Langit hitam Bima sangat memesona sejauh mata memandang. Tak ada polusi yang menutupi sinar bintang-bintang. Kilaunya selalu mampu membuatku tak ingin berpaling dari menatapnya. Bahkan tanganku seolah dikendalikan untuk menghitung jumlahnya yang tak terhitung.

Aku mengulum senyum. Jika pagi tak terlalu kusukai. Maka malam adalah sebaliknya. Aku sungguh menyukainya.

Duduk di dekat jendela, memandang ciptaan Pencipta yang selalu luar biasa adalah kebiasaanku setiap malam. Apalagi memandang bulan.

Dari buku cerita yang pernah kubaca, orang selalu menyanding-nyandingkan bulan dengan bintang. Padahal mereka adalah sesuatu yang bertolak belakang. Walaupun begitu, yah, mereka serasi. Saling mengisi. Besar-Kecil. Bulan-Bintang.

Bintang itu ... meskipun ribuan jumlahnya, ia tak dapat menerangi. Berbeda dengan Bulan .... Meski bentuknya tekadang sabit atau sudah bulat sempurna, ia tetap dapat menerangi dunia.

Makanya, ketimbang bintang, aku lebih suka bulan. Kalau bisa, aku ingin jadi bulan yang menerangi orang banyak. Kalau pun tidak, aku berharap bisa bertemu seseorang yang akan menjadi bulan untukku.

_________________

~HN 🐬

Bima, 28 Juni 2019


Hai!
Bagaimana? Komen ya. Jangan lupa vote dan share ke teman-teman kalian.

Terima kasih dan kalembo ade. 😊

Kita dan Kata (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang