Malam sangat larut ketika Hinata pergi menuju ruang bawah tanah Cafe. Ruang bawah tanah itu dipenuhi oleh drum kayu berisi kopi bubuk yang baru diolah, mesin penumbuk kopi juga tumpukan karung biji kopi, aroma kopi yang harum menguar hingga menusuk hidung. Hinata berhenti di sebuah lemari berisi cangkir-cangkir kopi yang cantik. Ia menggeser lemari kayu itu dan sebuah pintu terlihat. Hinata tersenyum kecil, dan menyalakan lampu, pintu di belakangnya otomatis tertutup. Seseorang sudah di sana lebih dulu, pria berambut pirang dan nampak cantik itu melirik Hinata, dia menyunggingkan sebuah senyuman yang cukup lebar penuh makna.
"Jadi, bagaimana dengan bisnis kita nona Ootsuki?"
Hinata membalas pertanyaan pria itu dengan anggukan pelan. Ia pergi menuju lemari besi di ujung ruangan, menambahkan password dan mengeluarkan bungkusan berisi bubuk-bubuk putih.
"Seperti kataku, ini hanya sepuluh persen dari kesepakatan. Gagalkan penjualan senjata milik Fugaku, dan kita akan melanjutkan bisnis, Deidara-san."
Pria itu -Deidara mengangguk patuh, ia sedikit berdecak ketika melihat bagaimana Hinata memperhatikannya. "Jangan khawatir soal bisnis ini, aku akan melakukan semuanya dengan baik. Bagaimana pun barang milikmu selalu memiliki kualitas nomer satu. Hanya saja..." Deidara memandang sebungkus besar bubuk putih itu. "Bukankah sangat ironis melihatmu menjual narkoba sekarang? Keluargamu berlatar sebagai pengusaha dan juga memegang jabatan Kepolisian di cabang utama. Lalu keluarga Ootsuki yang memiliki bisnis dalam bidang kesehatan juga kuasa di badan Kejaksaan, tidakkah kau merasa bersalah?"
Bukan maksud Deidara mencampuri keputusan Hinata untuk masuk dalam bisnis kubangan hitam ini. Hanya saja siapa yang tidak akan terkejut melihat gadis sebaik Hinata memilih ini.
Hinata hanya bisa menghela nafas. "Keluargaku hancur dan binasa karena mengjegal para penjahat itu, mereka berjuang dalam nama kebenaran namun tetap kalah. Jadi kupikir, bagaimana bila aku berada di jalan yang sama, dan mulai menjegal mereka? Bukankah sangat menyenangkan ketika melihat lawanmu menderita? Aku akan merebut semuanya. Hihi..." Hinata tersenyum manis di akhir tawanya, membuat bulu kuduk deidara berdiri.
Gadis ini berbahaya...
"Yah, aku hanya penasaran. Aku akan kembali lagi nanti. Senang berbisnis denganmu, nona Hinata." Dengan itu Deidara segera memasukkan bungkusan itu dalam kopernya dan pergi dengan menggunakan pintu rahasia di seberang pintu masuk Hinata.
Hinata memandangi pintu di mana Deidara pergi, wajahnya nampak rumit dan alisnya berkerut. Ia memikirkan kata-kata Deidara.
"Tidak bisa, aku harus masuk ke dunia bisnis ini. Meski aku harus hancur, meski aku harus mati di kursi pesakitan, aku harus membalasnya..."
Kejadian malam itu menari-nari dalam benak Hinata...
"Apa yang aku lakukan benar kan? Aku akan menjadi kuat, Ayah. Aku akan membalaskan kematian klan kita..."
.
.
.
Pelabuhan, 02.30 malam
Kapal muatan Shooting Star.
Deidara melangkah di jembatan kapal, bajunya nampak rapi dengan kemeja putih dan jas hitam. Jauh di depan matanya, dua orang bersenjata berjaga di pintu masuk kapal, Deidara memberikan aba-aba pada pasukan berseragam senjata lengkap yang mengendap di belakangnya, memberikan perintah untuk mulai penyerangan. Beberapa orang dengan tameng anti peluru berjalan cepat melewati Deidara, di susul pria-pria bersenjata yang langsung melancarkan tembakan beruntun. Para penjaga di pintu masuk kapal tak mampu bereaksi cepat, belum sampai mereka mengangkat senjata, peluru dari senjata berperedam telah lebih dulu menembus kepala mereka. Dua tubuh langsung ambruk dan darah merah segera merembes mengotori lantai kapal.
Derap langkah hati-hati memasuki lambung kapal, dan lagi-lagi pasukan Deidara lebih dulu bertindak cepat. Lusinan penjaga bersenjata tumbang, yang hanya bisa melancarkan beberapa tembakan.
Deidara mengusap daun telinganya yang berdengung. "Terlalu berisik." Gumamnya pelan.
Melewati beberapa belokan, Deidara dan pasukannya tiba di depan pintu utama. Seorang bertubuh kekar dan berambut putih dengan rompi menghadang, seluruh tubuhnya dipenuhi oleh lilitan kabel.
"BOM BUNUH DIRI?!!" Seru salah satu pasukan Deidara, tapi Deidara yang terkenal sebagai pria nyentrik itu hanya menanggapi dengan senyum tipis.
"Oh, menarik." Wajah bahagia langsung menghiasi Deidara.
"Berhenti sekarang, atau kita akan mati bersama."
Pasukan bersenjata Deidara mulai berkeringat, sepanjang barisan mereka di lorong mulai saling berpandangan. Mereka dibayar untuk menggempur dan menjarah kapal, bukan untuk mati dalam ledakan dan menjadi daging cincang!
Melihat Deidara dan pasukannya masih diam tak menanggapi, ia mengambil bom tangan dari sakunya, mengacungkannya ke udara dan mulai berteriak : "MASIH BERKERAS?! INI BUKAN HANYA GERTAKAN!!!!" dengan perasaan marah ia melepaskan picunya dan melempar ke arah para pasukan.
Iris para pasukan menciut cepat, dan kepala mereka secara alami mengikuti bom tangan yang melambung tinggi. Semuanya seperti berjalan lambat, jantung mereka mulai berdetak dengan berat, hingga akhirnya bom itu jatuh beberapa meter dari mereka, bergemetuk dan meledak.
'DUAR!!!!'
Suara keras dan hempasan ledakan dengan sukses membuat kerusakan, telinga Deidara dan para pasukan berdengung, beberapa dari mereka terlempar dan terkapar, alarm kebakaran berdengung keras dan hujan dari alat pemadam segera membasahi mereka semua.
Deidara mendecih, mengabaikan sakit telinganya, ia berlari dengan cepat, menyongsong pada sang penjaga dan menjatuhkannya ke lantai. Suara deguman tubuh yang jatuh dan suara berkecipluk air dan erangan sang penjaga terdengar keras. Deidara tak menanggapi, ia segera menarik rompi yang si penjaga pakai, melemparkannya jauh.
"HAHAHAHAHAHA!!! KAU PIKIR SIAPA KAU SIALAN?!!! MENCOBA MENAKUTI AKU SANG JENIUS LEDAKAN INI?!!!"
Deidara tertawa lepas, matanya menyorot tajam pada penjaga yang memandangnya bringas.
Suara Deidara nampak lembut seperti tengah bernyanyi. "Noob, kau pikir aku tidak tahu kalau bom yang melilitmu itu palsu HAH?!! SIALAN!!!!" Deidara yang duduk di atas tubuh si penjaga melayangkan tinjuannya. "KAU MEREMEHKAN SENI LEDAKAN, SIALAN!!!"
Sesaat terpana, salah satu pasukan mendekat, "Tuan, barangnya?"
Deidara yang seperti kerasukan segera menghentikan aksinya, melihat pada penjaga di tangannya yang sudah babak belur dan pingsan.
"Cih, sungguh penjagaan yang mengecawakan Fugaku itu." Deidara mencemooh. "Ledakkan pintunya. Bawa semua senjata dan obat-obatan yang ada di dalam! Lalu bakar!"
"YES SIR!!" jawab mereka semua kompak.
Deidara bangkit berdiri, segera meninggalkan kapal.
Deidara merapikan poni rambutnya, menyapukannya ke belakang. Lalu ia merogoh ponselnya di saku, menghubungi seseorang.
Setelah beberapa bunyi dering, suara Deidara mengalun dengan angkuh. "Sudah aku bereskan seperti maumu Mam, jadi siapkan sisa pembayarannya."
Deidara tersenyum sambil berbalik kebelakang ketika ia mendapat persetujuan dari lawan bicaranya.
Deidara memandang warna jingga yang dilatari hitam malam.
"Surprise, Fugaku-san."
TBC
Halo, setelah sekian lama akhirnya mood lanjut cerita jalan... Senengnya~~ terima kasih buat semua review yang masuk, juga klik bintangnya~~~ Maafin Ritsu karna review yang tak sempat dibalas... Pokoknya semoga semuanya suka dengan chap ini, dan bila ada keluhan soal cerita di chap ini tolong kasih tahu Ritsu ya... Soalnya Ritsu gak terlalu bisa bikin cerita action kayak gini... jadi masih kudu banyak belajar. mohon bimbingannya!! Oke deh kalau gitu, salam peluk dari Ritsu!!! SeeU~~~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall
FanfictionSasuke Uchiha adalah murid jenius dan populer di SMA dulu, bahkan hingga ke Universitas dan memegang kendali Uchiha corp bersama sang kakak. Kemudian saat Pesta Perusahaan milik kolega Ayahnya, Sasuke bertemu dengan Hinata Hyuuga, teman satu SMA yan...