Empat hari sudah keberadaanku disini.
Di Seoul, ibu kota Korea yang mulai saat ini menjadi 'rumahku'.Waktu bergulir dengan cepat, seakan besok tak sabar ingin menyapaku. Padahal aku saja tak siap menghadapi hari esok.
Pernikahan ku dan Park Jimin semakin dekat saja—tak terasa memang. Sepertinya baru kemarin aku menolak untuk dijodohkan dengannya? Bagaimana nyatanya aku benar-benar menjadi jodohnya ?
Selama disinipun, aku cukup sering bertemu dengan calon suamiku itu.
Ia sangat baik, perhatian, hangat walau ada beberapa saat dimana aku merasakan sikap dinginnya ,dan terkadang pula terasa jauh—karena masih sama-sama memasang tembok pembatas diantara kami berdua.Ah ada satu hal lagi, aku tak bisa mengkategorikan ini sebagai keluhan atau tidak.
Jimin pernah berjanji akan mengajakku jalan-jalan melihat kota Seoul, ia mengatakannya dihari kedatanganku. Itu sudah tiga hari yang lalu. Malam itu aku sangat yakin dia akan datang, karena seperti kata Eomma dia adalah lelaki bertanggung jawab yang tetap memenuhi janjinya.
Namun sepertinya janji itu tak selalu ditepati. Disaat aku sudah siap untuk pergi,sebuah pesan permintaan maaf darinya masuk ke ponselku. Alasannya juga masuk akal—tiba-tiba saja ada urusan pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Lalu apakah aku kecewa? Sedikit. Tapi haruskah aku marah padanya? Apalagi curiga? Tentu tidak. Ada sebuah prioritas dalam hidup ini. Dan janjinya padaku itu berada di peringkat kesekian jika dibandingkan dengan pekerjaan yang jelas itu menyangkut masa depan dan banyak hal penting lainnya.
"Tak apa, waktu ku disini juga tak terbatas. Kau urus saja pekerjaan mu dulu, denganku bisa lain waktu"
Aku rela merekam suaraku—mengirimkan Voice Note padanya. Agar semata-mata menjaga Jimin agar tak merasa bersalah padaku.
Karena kejadian malam itu aku belajar satu hal. Menjadi istri seorang Park Jimin bukanlah hal yang mudah atau hanya butuh sekedar 'dijalani' saja. Nyatanya aku harus tetap berbesar hati memaafkannya jika suatu saat peristiwa seperti ini terulang kembali. Aku hanya perlu menjadi wanita yang sabar dan menerima segala kesibukkannya.
Aku menunduk,mengurut pelan kakiku yang terasa pegal. Hari ini aku cukup sibuk mengurus banyak hal.
Tapi jika diingat bukan hanya aku saja. Ayahku , Abeoji, dan Eomma pun tak kalah heboh dari kami yang akan menikah. Eomma bahkan lebih sibuk dariku dalam mengurus pernikahan ini.
Sekarang aku berada di sebuah pusat spa terkenal di kota Seoul—pas sekali bukan?
"Ahgassi, kulit anda sangat halus, pasti anda rajin perawatan ya?" Ucap seorang pegawai yang melayaniku. Huh, kalau boleh berterus terang aku sedang tidak ingin membuka mulutku walau hanya sekedar basa-basi.
"Tidak terlalu sering kok ,hehe"
"Beruntung sekali calon suami anda,Ahgassi. Memiliki calon istri yang cantik dan menawan seperti anda. Saya selalu takjub dengan kecantikan wanita asia tenggara. Ternyata benar,saya membuktikannya hari ini." lanjut pegawai yang kutebak usianya pasti lebih tua dariku.
"Terimakasih" jawabku singkat dan mencoba menikmati pijatan darinya sembari memejamkan mata sebentar saja.
Namun sebuah suara gaduh membuat mataku spontan terbelalak karena terkejut. Ternyata itu berasal dari ranjang disebelahku. Seorang pelanggan tiba-tiba beranjak bangun dan pergi meninggalkan ruangan, hingga sang pegawai yang melayaninya pun kualahan mengejarnya. Aku tak memperhatikan wajahnya, tapi yang sekilas kulihat sepertinya adalah seorang wanita muda. Aku tak ingin berspekulasi tentang masalah hidup apa yang wanita itu alami. Semoga ia baik-baik saja.
.
.
.
"Semua rekanmu dari Indonesia telah sampai siang ini, aku sudah menyiapkan tempat terbaik untuk mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
BECOMING
FanfictionAbinaya Hanasta Sastrohandoyo adalah gadis dua puluh dua tahun yang memiliki banyak mimpi dalam hidup nya. Hana, biasa orang memanggilnya merasa bahwa masa muda nya adalah hal yang paling sempurna. Namun ternyata ia salah , semua benar-benar berubah...