chapter 6

64 8 0
                                    

Menurut beberapa orang, menatap pantulan diri dikaca dapat membantu kita untuk lebih bersyukur atas apa yang kita miliki. Entah itu fisik kita yang lengkap atau barang apa yang melekat pada tubuh kita. Melihat semua itu dapat menyadarkan diri jika kita cukup beruntung hidup didunia ini.

Seperti yang kulakukan, berusaha men-sugesti kepalaku bahwa hari ini dan seterusnya adalah sebuah berkah dari Tuhan yang harus kujalani. Terlepas betapa buruknya kondisi ku pagi ini. Mata yang masih bengkak, bekas make up sisa kemarin yang belum sepenuhnya terhapus, rambut acak-acakan yang kusut.

"Mengerikan sekali kau ,Hanasta" ejekku pada diri sendiri.

Malam pertama. Alih-alih menjadi malam erotis, justru menjadi malam yang miris

Dari pantulan itu saja sudah tertebak apa yang telah semalaman kulakukan. Ingin kukasihani diriku atas segala nasib malang ini.

Kugulung gaun tidurku sampai siku, lalu berjalan kekamar mandi. Tenggorokanku terasa kering tapi untuk minum saja aku tak bergairah.

Menghabiskan setengah jam dikamar mandi, aku tentu saja kembali menangis. Di bawah pancuran shower air dingin yang menyapu kulit hingga badanku bergidik menggigil.

Hidupku bertambah sepuluh persen mengenaskan dari sebelumnya ketika lengan ku tergores ujung meja hingga berdarah.

"Auch.." aku meniupnya lagi, lalu menatap kembali pantulanku dikaca.

"Apa kau selemah ini Hana?!" Geramku

Tidak , atau iya ? Memikirkan Jimin yang tak bisa hidup dengan satu wanita saja dapat membuatku membuang waktu untuk menangis!

"Ayo, kau pasti bisa ! Atau kau rela malu setelah malam pertama mu" ucapku pada pantulan ku di kaca .

Dengan penuh tekad aku pun memoleskan produk-produk yang ada di dalam pouch berwarna oranye milikku. Hanya dengan berdasarkan yang kulihat di media sosial. Ini bukan style ku, ini lebih 'menor' dari biasanya.

"Lumayan" hasil riasanku cukup sedikit memperbaiki mood. Aku akan mengapresiasi para beauty vlogger kedepannya, mereka menyelamatkanku pagi ini.

Tok tok

Terdengar  ketukan dari luar pintu kamar, namun belum saja aku berjalan untuk membuka pintu seseorang sudah masuk dengan santainya.

"Aku punya kartu cadangannya" ucapnya acuh sembari mengacungkan sebuah kartu

"Selamat pagi, Hana. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"

Pria ini gila, dia masih bisa bertanya setelah apa yang ia lakukan semalam?!

Aku tidak menjawabnya , aku sibuk merapikan rambutku yang sudah tergerai karena sebelumnya terikat. Saat melihat nya dari balik pintu tadi,aku memang langsung berbalik menjauh.

"Sudah siap untuk sandiwara pertama?" Ingin ku sumpal mulutnya agar tak kembali bicara,

"Brengsek , cepat kita lakukan"

"Hey calm! Santai saja, Hana. Mungkin hubungan kita sedikit aneh, tapi kita masih bisa berteman" omong kosong macam apa itu?!

"Kau mengenakan riasan?"

"Bukan urusanmu" ucapku acuh.

Lalu aku berjalan melewatinya begitu saja untuk pergi sarapan bersama 'keluarga' baruku.
.
.

"Bagaimana tadi malam? Biasanya pengantin baru itu lama banget keluar kamar, kalian termasuk cepat loh. Main cepat ya?" ucap adik ibuku,Tante Fenti.

Mendengar itu aku pun tersedak roti yang sedang ku kunyah, sedangkan Jimin terlihat salah tingkah. Baru beberapa menit aku duduk dikursi ini , namun banyak sekali pertanyaan tidak senonoh terlontar baik dari keluargaku atau keluarga Jimin.

BECOMINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang