v. satu runtuh, runtuh semua

373 68 3
                                    

───── "Brengsek kenapa lama banget tidurnya sih!" amarah seseorang jadi hal pertama yang Athlas dapatkan begitu manik legamnya kembali muncul ke permukaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

───── "Brengsek kenapa lama banget tidurnya sih!" amarah seseorang jadi hal pertama yang Athlas dapatkan begitu manik legamnya kembali muncul ke permukaan.

Belum lagi pukulan diatas bahunya yang semakin menambah kesakitannya, entah kekuatan darimana sampai figur sekecil Althair mampu membuat Athlas yang memiliki tubuh besar merasa sakit luar biasa atas aksi kejam kembaran kecilnya itu.

"Ya Tuhan mas yang bener aja kamu, kakaknya baru sadar kok ya malah dipukul sih." melodi lembut wanita paruh baya buat Athlas menoleh, wajah penuh keriput yang masih nampak ayu milik oma Manggala buat Athlas mengukir senyum lembut untuk tenangkan hati sang oma.

Sudah lama Athlas tak jumpai wajah ayu belahan jiwa tetua Manggala itu, terakhir kali Athlas lihat rupa penuh tanda penuaan itu adalah saat bundanya menghembuskan nafas terakhir, buat wajah cantik itu terbingkai kesedihan karna kehilangan satu satunya mantu kesayangan di keluarga Manggala.

Buat Athlas saat itu kembali mengunci pelupuk matanya untuk tidak meluruhkan air mata, menjadi satu satunya pihak keluarga yang tak menangis selama masa berkabung sang ibunda berlangsung.

Dan hari ini Athlas kembali temui omanya dengan luka juga kesedihan yang sama membingkai wajah ayunya, "Oma jangan sedih gitu dong, i'm totally fine kok,"

"Totally fine mata lo." Sentak Ananda.

"Adek, bahasanya ahh dijaga." teguran oma buat Athlas tersenyum hangat, senang kembali mendengar suara yang sudah lama tak menyapa rungunya langsung karna terhalang jarak juga waktu.

Entah apa yang terjadi sampai buat sepasang suami istri Manggala utama yang telah lama menetap di Belanda kini hadir tepat dihadapannya, padahal saat Athlas mengajak kedua orang tua ayahnya itu untuk ikut serta berlibur bersama mereka tengah sibuk melakukan kunjungan untuk urusan perusahaan.

Wajah sembab ketiga kembarannya buat Athlas merasa bersalah, entah berapa lama ketiganya menangis sampai buat wajah yang biasanya menawan mendadak terlihat tak sedap dipandang.

"Hi brat," dan suara dokter Kaleb buat figur Athlas yang terbungkus selimut rumah sakit semakin menenggelamkan diri dalam selimut putih yang membalut tubuhnya sejak awal.

Ternyata akhir dari liburan singkatnya adalah terungkapnya sebuah fakta yang selama hampir enam bulan belakangan ini coba Athlas tutupi dari keluarganya.

"Ada keluhan ngga ganteng, kok om dateng malah ngumpet sih kamu." nada menggoda dari dokter yang telah merawatnya sejak vonis leukemia dijatuhkan kala ia kecil dulu, buat Athlas dibalik selimut berdecih sebal.

Disisi lain tunggal Manggala dewasa memandang penuh rasa cemas pada Athlas yang setia sembunyi dibalik selimut rumah sakit. "Gimana keadaannya Ala, Kal? Semua baik baik aja kan? Mimisannya cuman karna anaknya kecapean dan udara dingin doangkan bukan suatu hal yang perlu seriuskan?"

"Sorry Jeff, tapi hasil medical check up Athlas setahun belakangan ini emang kurang baik, Athlas juga tiap datang konsul selalu ngeluhin kalo anaknya beberapa kali mimisan, pusing dan nemuin lebam sama rasa nyeri tanpa ada penyebabnya sampai akhirnya aku paksa Ala buat tes lagi, dan hasilnya cancernya aktif lagi, Leukemia stadium lanjut."

"Al kenapa. . ." figur tunggal Manggala dewasa menatap nanar pada sang putra yang masih setia bersembunyi dibalik selimutnya, lidahnya kelu hanya untuk memanggil nama Athlas untuk minta penjelasan, sampai Athlas mengembalikan badan untuk menghadap mereka.

"Yaudahlah intinya aku sakit lagi, dan semangat deh buat kalian semua pasti abis ini aku bakal nyusahin kalian." wajah tanpa ekspresinya menjadi perhatian semua orang yang ada disana, mendengus sebentar kala netranya bersitatap dengan tatap sendu ayahnya sebelum akhirnya Athlas kembali figurnya sembunyikan dibalik selimut rumah sakit.

Enggan melihat wajah sendu mereka semua, belum lagi dokter Kaleb yang terus menatapnya penuh harapan padahal dokter berusia kepala empat itu juga tau sendiri berapa persen harapan hidupnya saat vonis itu kembali dijatuhkan enam bulan lalu.

Dari balik selimutnya, bisa Athlas dengar sayup sayup orang dewasa disana memperdebatkan tentang kondisinya. Sampai pada satu suara yang memberi saran buat dirinya berdecak tak suka.

"Enteng banget lu nyuruh gue kemo radiasi atau apalah itu." maki Athlas pada Althair yang obsidian tenangnya sudah sepenuhnya fokus pada dirinya.

"Sekalipun kemo jalan satu satunya buat aku sembuh lagi, yang punya hak itu aku. bukan kalian, bukan ayah ataupun dokter Kaleb. Please know your limit bung, this is my body not you."

Figur Manggala dewasa mengangguk patah patah, berusaha tak lagi membantah keinginan putra yang selama kepergiaan sang istri tak lagi ia beri perhatian.

Mungkin ini cara Tuhan menegurnya yang lalai dalam tugasnya sebagai orang tua, juga mungkin ini cara mendiang istrinya memberi peringatan bahwa ketidakpeduliaan dirinya membawa mereka pada jurang yang sebelumnya merangkap mereka dalam ketakutan.

Athlasnya, putra yang sempat ia abaikan keberadaannya, jagoan kecil yang seringkali hatinya ia sakiti kini tengah lelah pada keadaan yang dihadapinya. Maka dirinya harus kembali berdiri kuat, menjadi figur yang mampu memberi sandaran juga kekuatan bahwa untuk kali ini mereka akan sama sama kembali berjuang dan keluar sebagai juara bertahan.

"Lu tau apa sih, cuman tau kasih semangat sama kalimat jangan menyerah burung kaka tua juga bisa kali." sentak Athlas buat Jeffian mendongak, menemukan keempat putranya tengah beradu argumen dengan perbandingan suara satu lawan tiga.

"Cukup." tegurnya tegas, buat putra kembarnya bungkam dan ketiga orang dewasa lainnya memilih memberi ruang pada keluarga kecil Manggala yang kembali diselimuti ketakutan.

"Al, maaf," lidah Jeffian Manggala mendadak kelu, binar lelah membingkai kuat disepasang mata indah Athlas buat figur tunggal Manggala dewasa tak sanggup melanjutkan ucapannya sendiri.

Sedangkan tiga pemuda Manggala lainnya masih setia menatap tak suka pada Athlas yang masih setia memasang ekspresi datarnya.

"Kata ayah kalo Athlas jadi anak baik sakitnya ngga akan dateng lagi, tapi mana Athlas udah coba buat jadi anak baik dia tetep dateng, nyiksa Ala, nyusahin Ala, capek ayah." adu Athlas lirih.

"La,"

"Ayah, Ala ngga mau kaya dulu lagi. Ala bahkan masih inget banget gimana sakit sama capeknya pas kemo dulu, belum lagi kalo rambut Ala rontok terus badan Ala jadi kurus. Bunda pasti bakal sedih yah kalo ketemu Ala botak lagi kurus lagi, emang ayah mau dimarahin bunda karna dikira engga kasih Ala makan? Engga kan? Jadi tolong jangan paksa Ala ya ayah, kembar? Ala capek, Ala cuman mau kaya gini tolong jangan paksa apapun yang aku sendiri engga minta." tatapnya Athlas bawa untuk melihat empat wajah yang tengah dibingkai awan kelabu, beritahu keempatnya bahwa sejak awal dirinya tau penyakit itu kembali Athlas putuskan untuk tak mau kembali melawan.

Toh setahun belakangan ini, keberadaannya tidak lagi memiliki peran penting di hidup keempatnya kan? Mereka semua mampu hidup sendiri lalu larut dalam kesibukan mereka masing masing.

Jadi, Athlas putuskan untuk menikmati sisa waktu yang ada sembari mengusahan wishlistnya satu persatu.

Salah satunya bersama sang sahabat kerennya membangun rumah teduh untuk anak jalanan.


































to be contiuned

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

to be contiuned. . .

blue birthdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang