Dia Gilang

44 1 1
                                    

Ana menyibakkan tirai jendela kamarnya, membiarkan cahaya matahari membias di wajahnya yang teduh. Di kamar persegi yang cukup besar itu mengalun petikan-petikan senar gitar, menjadi sarapan pagi bagi Ana yang memang suka memainkan alat musik sejenis gitar. Ia bukan profesional dalam bidang itu, bisa dibilang ala kadarnya saja untuk sekadar menghibur diri sendiri.

Tetiba pintu kamarnya diketuk. Ana menoleh ke asal suara, lalu dengan cepat menghentikan petikan jemarinya yang sudah larut pada melodi-melodi indah sebagai pembuka pagi kali ini. Buru-buru ia meletakkan gitar itu kembali ke tempatnya lalu bergegas membukakan pintu yang terkunci dari dalam. Tangannya memutar kunci dengan gantungan Doraemon sembari meminum segelas susu yang sudah dianggurinya sejak 30 menit lalu.

"Na ayo turun! Kamu belum sarapan pagi loh. Kebetulan si Abak juga lagi nunggu kamu, katanya ada yang mau ditanyain," ucap Ama sambil menyunggingkan kedua ujung bibirnya. Senyuman yang selalu menjadi favorit bagi Ana.

Kedua perempuan itu berjalan beriringan menuju ruang makan, tempat Abak sedang menunggu mereka. Ana memeluk Ama dengan hangat sambil berjalan menapaki lantai rumah yang baru saja dipel. Melepaskan kerinduannya yang sudah tertabung beberapa hari belakang.

"Pagi Bak."

Ana melepaskan pangkuannya pada Ama lalu beralih pada lelaki yang kumisnya habis dicukur tadi pagi. Ia merangkul sebentar, lalu menggeser salah satu kursi dan duduk diatasnya.

"Gimana sama kuliah kamu?" tanya Abak dengan senyuman yang menampakkan jejeran gigi putih.

"Baik Bak. Insyallah akan lebih bagus dari semester kemaren," jawab Ana sambil menyendok nasi goreng tanpa kecap. Ya sesuai dengan seleranya sejak kecil.

"Jangan kecewakan Abak. Kuliah yang serius jangan banyak main apalagi keluyuran. Ana mengertikan maksud Abak?" ada nada penekanan di kalimat terakhir.

"Iya mengerti. Assalamualaikum."

Ana menyalami kedua orangtuanya lalu tergesa-gesa mengambil helm cokelat tua di sebelah meja pajang di sudut ruangan. Ama lagi-lagi menyunggikan senyuman nun meneduhkan hati itu lalu mengangkat bahu ketika Abak menanyakan kemana anak gadisnya hendak pergi dalam isyarat sorot mata. Beruntung, wanita yang sudah menemaninya bertahu-tahun dalam hidupnya mengerti isyarat semacam itu. Lantas pada akhirnya mereka hanya menggeleng akan tingkah putri mereka yang tampaknya sedang senang hari ini. Untunglah.

Dengan ponsel yang menempel di telinga, Ana mencoba menghubungi seseorang. Lalu ketika panggilan di seberang terjawab, "Hallo, maaf Ana gak mengajak Bintang pergi. Bintang mau nitip sesuatu?"

"Ih Ana mah selalu saja begitu. Udah pulangnya jarang terus pas pergi gak ngajak-ngajak Bintang lagi. Ya udah, beliin martabak keju aja."

Panggilan terputus. Tut. Tut.

Ana memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket biru langit yang membalut tubuh mungilnya, kemudian langsung membelah jalan raya dengan sepeda motor kesayangan milik Ama yang dipinjamnya hari ini. Awalnya Ana ingin memakai sepeda motor miliknya sendiri namun ternyata bensinnya habis. Jadi terpaksa ia meminjam motor Ama yang menganggur. Bukan meminjam juga sih, lebih tepatnya memakai tanpa izin si pemilik.

Hembusan angin serta jejeran sawah di tepi jalan menjadi suatu hal yang dirindukan oleh gadis itu. Ya di kota Padang, pemandangan seperti ini agak susah ditemukan apalagi di kawasan kampus. Hanya ada bangunan tinggi menjulang, ya walaupun tidak seperti perkantoran di ibukota yang menjulang menembus awan. Juga tidak seramai kota Jakarta yang macetnya tiada tara.

Hari ini Ana mengenakan baju kaus, celana training, jaket biru serta jilbab pashmina. Ia tidak ingin terlalu ribet soal penampilan dalam berpakaian. Tidak seperti Adisti yang selalu memprioritaskan penampilan setiap kali berpergian keluar rumah. Oh iya perkenalkan, Adisti adalah salah satu teman terbaik Ana. Mereka dulu teman sebangku semenjak SMA namun terpisah setelah keduanya kuliah di perguruan tinggi yang berbeda. Ya walaupun dulu mereka punya impian untuk masuk di satu Universitas, satu kosan, dan satu Jurusan namun beda progam studi.

Bulan TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang