1. Aku, bukan Senja di sore hari.

29 4 0
                                    

 "Aku kira pertemuan tidak selalu harus indah, namun jauh ketika mengingat pertemuan pahit kita segalanya terasa indah entah sekotor apapun itu."





  Namaku Senjakala Naisya Putri. Lima belas tahun. Tengah melangami fase malas untuk belajar namun aku harus bersiap-siap untuk Ujian Nasional di depan mata. Aku benci ujian, namun aku rindu membaca soal yang begitu panjang nan rumit jadi ketika aku berhasil memahaminya hatiku berdebar-debar.

   Duduk di baris ketiga, paling pojok sebelah kanan di kelas dekat jendela. Sebuah spot tempat duduk yang paling tidak sering diperhatikan oleh guru-guru. Selain itu meja yang ada di sini memiliki sebuah laci yang cukup besar. Aku bisa diam-diam membaca buku dan lari dari penjelasan membosankan guru.

   Yah, aku bukan seorang aktivis pelajar yang mati-matian ingin memajukan pendidikan Indonesia, bukan pula aktivis feminis yang mati-matian memperjuangkan hak-hak wanita. Malah aku kesal kepada Kartini, aku ingin diam di rumah sampai umur tertentu dan hanya membaca buku tanpa bersentuhan dengan dunia luar.

   Tapi aku tidak punya hak untuk menghakiminya, sama seperti aku tiap orang memiliki opini berbeda. Opini adalah pembangun kateristik pikiran setiap orang, ada yang tidak begitu mempedulikannya seperti aku namun ada pula yang mati-matian menonjolkannya.

   Sama seperti Alinea Reisya Amanda. Seorang gadis cantik, berkulit bersih, penuh semangat, pintar, dipandang banyak orang, senang menonjolkan dirinya di depan banyak orang. Sama seperti Alinea, yang sangat senang menjabarkan opini positifnya.

   "Hmm... Senjakala Naisya Putri, yang mana orangnya?" Suara berat ini tidak salah lagi adalah Pak Yudhoyono. Orang Jawa dengan aksen kejawa-jawaannya yang kental serta struktur wajah tak berpendirian ala pria tua dipenghujung empat puluh tahunnya.

   Ia memanggilku, lantas aku mengangkat tangan kananku sementara tangan kiri meletakkan pembatas di halaman buku yang baru saja aku baca.

   Ia menatapku dingin, "Coba Senja... hm, begitu kan cara yang lain memanggilmu?" Semua orang dengan kompaknya menjawab "Yaaa..." bagai paduan suara yang diiringi oleh akapela secara kontras.

   Aku menghela nafas setenang mungkin agar tidak disadari olehnya, "Ya, saya biasa dipanggil Senja." Aku menurunkan tangan kananku, namun, "Angkat saja tanganmu."

   Yah, apa pun yang Bapak mau deh, guru kan selalu benar.

   "Jelaskan peran Indonesia dalam perang dunia ke-2!" Tanya Pak Yudhoyono sembari menatap tajam kearahku. Dapat aku rasakan, tatapannya yang tidak tertuju padaku namun dadaku.

   "Ini materi dua bab yang lalu pak一"

   "Terus? Bukan berarti saya tidak punya hak untuk tidak menanyakannya, dong!"

   Ia berdiri kemudian berjalan mendekatiku, aku hendak menurunkan tangan kananku namun ia malah meninggikan nada bicaranya, "Siapa yang suruh kamu menurunkan tangan!?"

   "Maaf, pak..."

   "Keluar kamu! Lain kali yang fokus dong sama pelajaran!"

   Semua teman-temanku yang lain menatap tajam ke arahku. Mereka semua, tanpa terkecuali satu orang pun bahkan mereka yang kurang suka denganku, menatapku penuh iba.

   Semua orang di kelas ini termaksud Pak Yudhoyono tahu, perang dunia ke-2 bukanlah materi yang sedang kita bahas dipertemuan kali ini. Lantas, ada maksud apa dibalik seringaian tajam di bawah kumis tebalnya pada saat aku berjalan meninggalkan tempat dudukku menuju keluar kelas?

   Pasti ada maksud tertentu...

---

   Alinea menyambutku santai, ia melambaikan tangannya ke arahku dalih menyuruhku untuk duduk di sampingnya selama istirahat pertama. Lantas aku berjalan mendekatinya sembari membawa tas bekal motif sakura serta sebuah buku yang aku baca selama pelajaran Pak Yudhoyono.

   "Ada apa?" Tanyaku seketika pada saat ekspresi wajah mereka berubah menjadi sangat tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang membuat mereka merasa sangat takut jika ada diposisiku saat ini.

   Alinea menarikku pelan untuk duduk, kemudian mengelus-elus pundakku. "Tadi kata Pak Yudhoyono sehabis pulang sekolah datang ke ruang guru," Alinea menelan ludah, "sendirian."

   Aku memiringkan kepalaku, menunjukkan ekspresi pura-pura bodoh, "Kamu?... atau..." kemudian aku menatap dua orang yang duduk di hadapan kami secara bergantian, "...aku?"

   Secara kompak, mereka bertiga menjawab gugup, "Kamu..."

   Amanda Berliani, salah satu dari dua orang yang duduk di depan kami tersenyum simpul. "Kalau kamu mau, kita bisa menemani kamu dari jauh, kok!" Ia melempar pandangannya ke arah Pasha Gempiani, "...kamu tau, kan? Pak Yudhoyono terkenal gimana..."

   Bukan hiperbola, namun memang begitulah Pak Yudhoyono dimata para siswi SMP Cahaya Fajar. Seorang guru mesum yang senang melecehkan para siswi baik secara verbal mau pun non-verbal. Posisinya tidak bisa digeser atau diancam, karena ia adalah kepala sekolah. Tidak ada yang benar-benar berani untuk melawannya, bahkan guru BK atau kesiswaan.

   Selain itu beliau juga seringkali dicurigai main belakang dengan pihak pemerintahan. Bahkan anak laki-lakinya yang adalah alumni SMP Cahaya Fajar pernah di drop out karena memukuli adik kelas hingga masuk rumah sakit dan patah pada tulang kering. Normalnya anak biasa akan dikeluarkan, atau dilaporkan kepada pihak yang berwajib untuk mendapatkan penanganan tertentu. Namun karena ia anak dari Pak Yudhoyono yang maha berkuasa, pihak korban dan sekolah bisa apa?

   "Gapapa, sans aja lagian. Ruang guru, kan? Pasti bakal ada guru yang nolong Senja kalau ada apa-apa..." Jawabku dengan nada sedikit bercanda, walau aku menjawab demikian namun nyatanya aku juga sangatlah takut.

   Alinea menghela nafas tenang, "Ayo! Kalian bawa apa, nih? Gua bawa nasi goreng kayak biasa... bosen..!" Ujar Alinea berusaha untuk mencairkan suasana.

   "Gua bawa ayam goreng kuning..."

   "Nasi kuning! Mana ada waktu emak gua masak pagi... huhu"

   "Senja bawa mie goreng, cuman lagi ga nafsu makan..."

   Amanda tampak kesal, "Seriously? Senja, Senja! Yang namanya Indomie itu ga mungkin engga mengunggah selera...!"

   Gempi mengangguk mantap, "Indomie itu makanan paling enak tauu!" Ia menyodorkan nasi kuningnya, "sini tuker aja sama Gempi!" Lantas ia menarik mie goreng yang aku bawa dan menukarnya dengan nasi kuningnya.

   Alinea mendengus sopan, "Kalian ga sopan banget, sih!" Ia menarik mie gorengku, "ayo bagi-bagi, dong!"

   Kami tertawa penuh canda, melewati ketegangan barusan seakan-akan tidak ada apa-apa... mungkin memang lebih baik begini.

  

Bulan Dimata SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang