Luka mendalam yang membekas itu seperti memotong setengah masa depan Moonaya. Tak hentinya terbayang terngiang memutari otak yang sebenarnya sudah tak ingin mengingat masa-masa pedih itu.
Namun apa daya ketika sang malam tiba bayangan kelam itu seakan menyita waktu berpikirnya dan menguasi pikiran dan hatinya.
Tangis malam ini adalah bukti betapa rapuhnya ia, setiap air mata yang jatuh kedasar bumi itu seperti duri-duri tajam hingga seperti menusuk bumi kuat.
Entah kemana ia harus melangkahkan kakinya itu, timur seakan sudah menjadi lautan air, barat seakan sudah menjadi gumpalan api yang membesar begitupan utara sudah seperti halilintar yang menyambar dan selatanpun seakan seperti darah yang melaut luas sepanjang mata memandang.
Hingga kini ia hanya bisa duduk lemas dibawah pohon rindang dengan kaki yang berselanjar panjang kedepan, tangan kirinya mengusap pipi yang terasa begitu panas dingin dan tangan kanannya menekan perut menahan amukan perut yang meronta meminta asupan makan.
Mata sayunya menatap keberbagai penjuru sudut meminta bantuan disaat mulutnya tak mampu merangkai kata lagi. Satu dua tiga hingga ke empat kali kelopak mata itu mengedip hingga kedipan kelima terlihatlah sosok wanita tua tak jauh dari tempat ia duduk menatap kearahnya, ia mengangkatkan tangannya lalu melambai lemas kearah wanita tua itu.
"Tolong...tolong...tolong." teriaknya begitu pelan, wanita tua itu lalu berlari terseok-seok seperti kebanyakan nenek tua yang sudah ujur tuk berlari.
"Astagfirullah...kamu kenapa nak?" Wanita tua itu mengangkat kepala dan menyokong Moonaya diatas kakinya.
"Aku lapar nek, bisakah nenek bagi makanan nenek?" Tanpa basa basi kantung yang berisi makan dan minum yang nenek pegang untuk makannya ia beri padanys.
"Makanlah nak." Nenek itu mengusap kening Moonaya iba penuh perhatian. Sebelum memakannya Moonaya tersenyum sebagai rasa terima kasih pada nenek tua itu dibalas dengan anggukan kepala dan senyuman sang nenek.
Ia makan dua potong kue yang ada dikantong itu dengan lahap dan sedikit tersendat lalu ia meminum airnya juga, seketika itu rasa lapar dan hausnya terbayarkan.
"Kamu dari mana mau kemana nak? Ini sudah malam sekali tak baik keluyuran diluar sendirian."
"Aku gatau mau kemana, mamah papah ngusir aku dari rumah." Lagi-lagi air mata itu jatuh kembali tanpa diberi tahu.
"Yasudah kamu ikut nenek yah." Ajak nenek itu penuh kekhawatiran, Moonaya hanya mengangguk dan terseyum.
Diboponglah ia menuju rumah sederhananya.
"Maaf yah rumah nenek kecil dan jelek seperti ini." Ucap nenek berkecil hati.
"Tak apa nek, apa nenek disini sendirian?" Tanya Moonaya.
"Tidak, nenek tinggal sama cucu nenek."
"Cucu? Mana cucu nenek." Mata Aisyah melihat kesekeliling rumah.
"Tadi dia ijin ke masjid, mungkin sebentar lagi pulang."
Dari arah pintu berdiri sosok yang tak begitu asing dimata Moonay.
"Assalamualikum nek?"
"Wa'alaikumsalam, tuh cucu nenek datang."
Nenek berjalan menuju kearah cucunya, ternyata cucu nenek adalah pemuda cacat yang tadi bertemu dengannya dimasjid.
"Sepertinya ada tamu yah nek?" Pemuda tak sempurna itu menepak mencari tempat duduk.
"Iya saya perempuan yang tadi dimasjid."
"Oh, maaf jika rumah kami tak terlalu nyaman untuk ditinggali."
"Ohiyah nak nama kamu siapa? Lalu kenapa kamu bisa diusir orang tuamu sendiri." Tanya nenek menatap Moonaya penasaran.
"Nama saya Moonaya nek, emmm maaf sebelumnya sa..saya ha...mil diluar nikah itu alasan kenapa saya diusir." Moonaya menundukan kepala lalu menghembuskan nafas panjang.
Entah apa yang dilakukan nenek, dia berjalan kearah Moonaya mengelilinginya lalu berhenti dan menatap tajam kearah perutnya.
Lalu ia memegang perut Moonaya yang sontak saja mendapat tolakan darinya.
"Gapapa nak." Nenek meyakinkan, akhirnya ia pasrah dan membiarkan nenek memegang perutnya.
"Apa kamu yakin kamu hamil?" Tanya nenek masih memegang perut Moonaya.
"Iya nek saya yakin." Jawabnya setengah ragu.
"Nenek yakinkan kamu tak hamil nak, nenek ahli kandungan dikampung ini sering membantu melahirkan." Ucap Nenek tersenyum.
"Apa nenek yakin." Matanya berkaca-kaca tubuhnya seakan melemas tak percaya akan keajaiban Allah saat ini seketika ia tak sadarkan diri.
Dari ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah bukankah Dia masih memberikan kesempatan untuk merubahnya terhadapmu? dari segala kesedihan bukankah Allah janjikan kebahagian padamu? Asal dengan satu syarat kembalilah pada-Nya sebab ia pemegang kebahagiaan sesungguhnya.
Jangan lupa share :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Sendu senja
Randomcerita fiksi yang wow pokonya hehe Habiskan dulu ceritanya baru komen hehe yang keritik dan membangun