5

0 0 0
                                    

Andai dunia tak punya sisi gelap maka yang salah akan tetap tersenyum begitupun yang terluka ia akan terlihat seperti biasa saja seakan tak pernah merasakan luka. Namun nyatanya dunia tetaplah dunia ia punya sisi gelap.

Sudah sejak tadi Adit hanya duduk ditepian sungai sebab sungai itu mempunyai kenangan khusus untuknya.

Adit duduk termenung menatap langit yang sejak senja tadi mulai menghitam gelap, matanya penuh kerisauan kemudian perasaannya tak menentu entah apa yang membuat hatinya begitu bersalah pada Moonaya padahal jelas ia tak pernah melakukan perlakuan bejad itu padanya.

"Huhhh Moon, apa benar kamu hamil? Lalu bagaimana bisa kamu menyalahkan itu padaku?" Adit bergumam penuh kekecewaan dan menghela napas panjang.

Ia berdiri dari duduknya lalu mengambil beberapa batu dan melemparkannya ke dalam kolam ikan didepannya.

Plukk...lemparan pertama ia arahkan kesisi paling kiri dari kolam itu sembari berkata.

"Aku pernah melukai diriku sendiri lalu."

Plukk...lemparan kedua ia arahkan bagian tengah kolam lalu berkata.

"Aku menangis saat itu." Adit mengenang dimana saat kecil dulu ia pernah melukai dirinya dengan terjun dari tangga yang cukup tinggi, dan yang ada dibenaknya saat itu adalah ia ingin terbang bak superman dalam televisi.

Plakkkk..lemparan ketiga ia arahkan kesisi bagian paling kanan kolam itu lalu ia berkata.

"Dan saat ini aku kembali melukai diriku sendiri dengan meninggalkanmu sendirian diluaran sana lalu aku kembali menangis."

Sreeett...seketika bayangan Moonaya muncul dibenaknya wujudnya sedang manangis dan duduk dengan memeluk kedua kakinya.

Namun tiba-tiba lemparan batu dari arah belakang kedalam kolam itu membuat Adit kaget dan membuyarkan bayangannya.

"Bahkan seseorang yang tegar sepertimu saja bisa k.o dengan cinta." Saut seseorang dari arah belakang yang sudah duduk sendari tadi tepat dibelakang Adit.

"Hah setidaknya aku tak lebih payah darimu." Adit menoleh kearah suara yang sudah dikenalinya itu, dan itu adalah Ali sibuta yang tak lain sahabat kecilnya sejak dulu.

"Benarkah demikian? Apa yang membuatku lebih payah dari kamu?" Ali menantang dengan senyuman khasnya.

"Coba kamu lemparkan batu itu sekali lagi kedalam kolam itu." Tanpa aba-aba Ali melemparkan batu itu kedalam sungai lalu setelah itu Adit melemparkan batu yang dipegang dan lemparannya lebih jauh dari lemparan batu punya Ali.

"Lemparanku jelas lebih jauh dan itu membuktikan kamu lebih payah dariku Ali." Adit tertawa jahat dibalas senyuman oleh Ali.

"Itu karena aku tak bisa melihat bisa sajakan kamu membohongiku padahal lemparanku lebih jauh dari pada lemparanmu."

"Hah sudahlah aku kalah jika harus beradu argemen denganmu." Ucapnya mengalah.

"Dan itulah kelemahanmu selalu saja menyerah padahal baru mulai." Ali tersenyum meledek.

"Li?" Wajah Adit seketika memperlihatkan kebimbangan.

"Hmmm." jawab Ali singkat.

"Apakah tak ada kata lain selain mengerang seperti itu?" Ucapnya ketus.

"Mau kamu apa? Seperti mulut perempuan saja kau itu."

"Kemarin aku melukai wanita dan membuatnya menangis." Adit mulai bercerita.

"Lalu?" Ali penasaran.

"Ya aku merasa bersalah, mau minta maaf tapi takut." Adit tertunduk.

"Sekarang aku ragu apakah kamu laki-laki atau perempuan."

"Apa maksudmu itu sudah jelas aku laki-laki." Adit mengerutkan dahinya.

"Mulut kamu itu seperti wanita begitupun mentalmu, jika kamu seorang lelaki minta maaflah apalagi dia seorang wanita." Ali mengambil batu lalu melemparkannya kedalam kolam sementara itu Adit tertunduk entah malu atau menyesal.

"Trus apa yang harus aku lakukan?" Adit mengusap dahinya.

"Bukankah itu masalahmu?"

"Aku meminta pendapatmu." Adit menatap sinis Ali.

"Pendapatku satu kamu cari solusinya." Ali tersenyum.

"Hah percuma aku berbicara dengan orang sepertimu." Gumam Adit.

"Kamu meminta pendapat bukan solusi."

"Hahh sudahlah aku pulang saja, salam untuk nenek ya." Adit pergi perlahan meninggalkan Ali dikolam.

"Eh tunggu, aku baru saja datang dasar tidak sopan." Ali mengerutkan dahi dan Adit pun menghentikan langkahnya lalu kembali duduk disamping Ali.

"Jika masih butuh aku setidaknya jangan membuatku esmosi." Adit menepuk bahu Ali.

"Bicara itu yang bener, emosi jadi esmosi. Pantesan hidupmu salah terus."

"Bisakah lafal bicaramu lebih indah tuk didengar, buatku marah saja." Tatap Adit sinis.

"Bisalah, hanya saja entah kenapa jika berbicara denganmu selalu saja perkataanku seperti ini." Ali nyengir.

"Kenapa?" Matanya tajam menatap dalam-dalam kelopak mata Ali.

"Bisakah kau ketika berbicara denganku tidak telmi?"

"Mulai deh." Adit menghela napas panjang.

"Itu artinya aku merasa kamu adalah teman terbaikku, terima kasih ya dit." Adit hanya merangkulkan tangannya pada pundak Ali dan tersenyum padanya.

Ali duduk termenung matanya jelas melihat namun ia sudah tak bisa memandang lagi. Ia banyak melewatkan malam yang berhias ribuan bintang diatas langit sana.

Untung mengenali sang malam Ali hanya bisa merasakannya lewat dekapan sang angin yang berhembus atau mendengar kawanan serangga bersorak-sorak bernyanyi ditengah dinginnya malam.

Andai bisa melihat mungkin ia akan menikmati, bersandar lalu tertidur seolah-olah ia benar-benar menikmatinya. Namun Allah berkata lain Ia hanya ingin melihat Ali menikmati dunia dengan sudut pandangnya sendiri.


Namun Adit sudah mampu melupakan semuanya, ia adalah teman yang baik untuk Ali, kapanpun dimanapun Adit selalu hadir membantu.

Itulah arti teman sesungguhnya, saat satu diantara yang lain merasa tak sempurna ia selalu membuat seakan semuanya begitu sangat berkesan terhadap kekurangannya.

Jangan lupa vote and coment
Tunggu cerita selanjutnya ;)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seperti Sendu senjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang