3819

10 0 0
                                    

Pernah di salah satu pukul satu pagi, Taehyung tidak datang mengetuk plafon kamar ku.

Bukan karena dia tidak ada, atau tidak berniat mengetuk.

Tapi karena memang aku sudah naik ke atas sejak pukul lima sore, tidak turun sampai pukul lima pagi, jadi dia tidak perlu mengetuk.

Kami duduk di ujung genting rumahku, seperti biasa, kalau bosan, pindah ke dekat penampungan air. Saat itu, kami hanya duduk, tidak menghitung bintang. Padahal bintangnya sedang banyak, tidak tertutup riak awan yang menghitam.

"Kamu sungguh tidak mau menghitung bintang Ya?" Taehyung bertanya saat waktu mungkin menunjukkan sekitar pukul dua sambil menunjukkan ekspresi kesalnya karena melihatku terus sibuk menatap kakiku yang berayun-ayun menyebalkan.

Aku menggeleng. "Tae, ayo cari tempat yang lebih tinggi. Jangan melulu genting rumahku."

"Biar apa?"

Aku seketika bersemangat, beranjak dari posisiku, bergerak mendekati Taehyung, dan berjongkok di sebelahnya. "Biar kalau jatuh, mati."

"Cih. Seperti kau berani saja."

Sial. Iya juga. Berjalan di jembatan penyeberangan saja aku ketakutan setengah mati. Duduk di ujung genting seperti tadi, kalau semisal tidak ada Taehyung, mungkin aku sudah meringis ngeri. Menyebalkan ya? Kenapa coba hanya setengah matinya?

Taehyung memanyunkan bibirnya, terlihat imut, tentu saja. Tapi ia sedang kesal sebenarnya.

"Untuk apa kamu kesini kalau tidak menghitung bintang Ya? Mengganggu saja."

"Hei, senyum kotak. Tolong sadar diri. Biasanya kamu yang menggangu tidurku kan dengan ketukan di plafon tiap pukul satu pagi. Minta ditemani menghitung bintang, cih. Lagi pula kalau sekarang kamu ingin hitung bintang, hitung saja sana. Aku tidak akan mengganggu."

Taehyung menghela napas. Menatapku dengan pandangan yang terlihat sendu. Menyebalkan. Jangan mengasihani aku seperti itu, Kim Taehyung.

"Ayo cari tempat yang lebih tinggi kalau begitu."

"Serius? Kamu mau?"

"Tapi kalau kamu jatuh ke bawah, aku harus jatuh lebih dulu."

"Mana boleh begitu!"

"Tentu saja boleh. Duniamu, di atap, pukul satu, itu milikku Ya. Aturannya, aturanku. Aku yang buat."

"Ya sudah tidak jadi."

"Jangan mati dulu Ya."

"Iya. Iya. Dosaku masih banyak. Harus tobat dulu, kan?"

"Nah itu tau."

Kenyataan Selalu SibukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang