Dua

4.8K 828 74
                                    

"Anda siapa?"

Kisha sedikit takut melihat Pria bertubuh tinggi tegap berdiri di belakangnya sama basahnya.
Pria itu tersenyum lebar menunjukkan lesung pipi.

"Saya Gara. Saya nggak sengaja lewat di sekitar sini dan malah melihat kamu di sini persis seperti orang putus asa," jawab Gara sedikit keras karena guyuran air hujan memelankan suaranya.

Kisha tersenyum simpul tanpa menjawab dia kembali menatap ke depan. Sedikit was-was, tetapi melihat wajahnya sama sekali tidak seperti orang jahat. Wajahnya sangat rupawan dan juga bersih.

"Hujan semakin deras, bentar lagi juga sore. Nggak bagus berlama-lama kehujanan seperti ini," ujar Gara lagi.

Kisha berdiri dari duduknya berbalik berhadapan dengan Gara yang lebih tinggi darinya.

"Makasih, perimisi," ucap Kisha sembari tersenyum tipis.

Sebelah alis Gara terangkat mendengar ucapan terimakasih Kisha. "Makasih?"

Kisha mengangguk pelan. "Makasih sudah mengingatkan saya."

Hujan perlahan mulai reda, Kisha masih berdiri menatap netra abu milik Gara. Dada Kisha bergemuruh hebat karena tatapan Gara yang seakan menghunjamnya.

"Kamu mau pulang?"

Kisha menganggukkan kepalanya tersenyum kikuk. "Ya," sahut Kisha singkat.

Tanpa diduga Gara menggandeng tangan Kishaa tiba-tiba membuat Kisha terkesiap segera melepaskan tangan Pria yang masih asing itu.
Kening Gara mengerut dalam kemudian tersenyum tipis. "Maaf. Saya memang begini orangnya. Setiap lihat wanita bening suka khilaf," cetus Gara sedikit malu.

Kisha mendongak menatap jelas wajah rupawan Pria yang bernama Gara itu. "Nggak masalah," pungkas Kisha tersenyum maklum. "Saya duluan," lanjutnya kemudian berjalan melalui Gara.

Raut wajah Gara tiba-tiba berubah datar. Gara berbalik menatap punggung mungil Kisha yang mulai menjauh dari pandangannya. Tatapan mata Gara berubah sangat dingin. Bibir tebalnya terkatup rapat merutuk dalam batinnya.

***

Hujan mulai reda, Kisha bersandar lemas di kursi penumpang karena sopir yang membawa mobilnya. Matanya sangat sembab berubah sendu mengingat tubuh telanjang dua orang yang berkhianat itu.

Mata Kisha terpejam lelah. Rasa perih terasa begitu jelas terasa. Kisha kembali menangis mengingat bagaimana kejinya mereka bermain di belakangnya selama ini. Kisha terisak menutup wajahnya. Denyut pedih di dadanya tak kunjung berkurang malah bertambah semakin parah.

"Sudah sampai, Bu."

Kisha mengusap wajahnya pelan menarik napas dalam. Dia perlu berendam dengan air hangat karena tubuhnya baru terasa menggigil setelah berada dalam mobil.

Kening Kisha mengerut melihat mobil Ringga yang terparkir di halaman rumahnya. Kisha mengembuskan napas berat sebelum keluar dari mobil.

"Koper saya ada di bagasi tolong bawa ke dalam ya, Pak," pesan Kisha sebelum berjalan masuk ke dalam rumah.

Sampai di dalam, Kisha melirik Ringga dan Aira yang tengah duduk bersisian. Kisha melengos membuang pandangannya dari kedua manusia menjijikan itu.

"Kamu kemana saja? Wajah kamu pucat," cecar Ringga yang sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan cemasnya.

Kisha mendengkus bersedekap menatap Ringga malas.

"Nah Mbak Kisha baru datang ternyata," sambut Dita adiknya yang datang dari arah dapur. Dita tersenyum membawa nampan yang berisi dua cangkir teh hangat.

"Kenapa kamu izinkan mereka masuk ke mari, Dita?" geram Kisha mengabaikan tatapan memelas Ringga.

Dita menatap bingung ke arahnya. "Loh kok? Mbak kehujanan?" Dita mengabaikan pertanyaan Kisha.

Ringga hendak menangkup wajahnya, tetapi Kisha segera menepis kasar tangan Ringga. Kisha menatap nyalang pada Ringga. "Jangan.pernah.sentuh.gue!" tolak Kisha penuh penekanan.

Aira beranjak dari duduknya hendak mendekatinya. Kisha menyadari pergerakan Aira segera mengibaskan tangannya menatap jijik pada Aira.

"Mau apa lagi kalian datang kemari? Apa nggak cukup pelajaran yang gue kasih sama kalian tadi?" desis Kisha marah.

Aira menggeleng bersamaan dengan linangan air mata yang merembes dari matanya. "Aku ngaku salah, Sha. Tapi aku mohon.. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya," pinta Aira memelas pada Kisha.

Ulu hati Kisha terasa dihantam begitu keras. Rasa sakit semakin terasa kentara. Kisha mendengkus keras menatap dingin Aira. "Apa yang mau dijelaskan lagi, sih! Bukannya semua yang gue lihat sudah lebih dari cukup untuk dijelaskan, hah!"

Kisha menarik napasnya dalam mencoba menahan air mata yang siap meluncur dari matanya.

"Apalagi yang mau kalian jelaskan?!" bentak Kisha menggebu. "Kalian mau jelaskan secara rinci sejak kapan kalian melakukan hal nista itu, hah! Atau kalian mau menjelaskan betapa menyenangkannya nusuk gue dari belakang, iya?!"

Amarah Kisha berada di ubun-ubun sedikit lagi Kisha yakin tidak akan bisa menahan laju air matanya.

"Kisha..," lirih Aira tercekat berusaha menggapai jemari Kisha.

Kisha menghindar tersenyum pahit. "Kalian tahu bagaimana sakitnya gue waktu melihat langsung adegan menjijikan itu. Sakit banget, bahkan nyaris membuat gue ingin membunuh kalian saat itu juga. Orang yang gue percayai menusuk gue di belakang gue dan rasanya beneran menyakitkan. Gue bisa tahan sakit yang bagaimanapun, tapi lihat orang yang gue cintai melakukan hal itu membuat gue sadar nggak ada yang lebih sakit dari itu."

Air mata Kisha luruh. Kisha tidak sekuat itu untuk menahan hantaman gelombang kesakitan yang begitu dahsyatnya. Kisha wanita biasa. Dia tersakiti dan butuh meluapkan rasa sakitnya.

"Sha..."

"Pergi!"

Kisha menatap sengit pada Ringga yang menatapnya sendu. Tatapn yang Kisha benci dari mulai saat ini.

Keduanya bergeming menatap Kisha nanar.

"PERGI!"

Kisha berteriak nyaring hingga urat lehernya menonjol. Kisha tidak mau lagi memukul mereka. Kisha akan lebih senang kalau dia bisa langsung mengenyahkan mereka.

"Aku akan menunggu sampai kamu tenang dan setelah itu kita bicarakan semuanya baik-baik, ya?" ucap Ringga menatap Kisha penuh harap.

Kisha tersenyum miring. "Sampai matipun nggak akan pernah ada waktu buat kalian," desis Kisha menatap enggan pada Ringga.

Kisha melirik Dita yang mentapnya bingung. Kisha menarik napas sebelum akhirnya berlalu dari sana. Jalan yang Kisha tapaki terasa duri yang menjalar rasa sakitnya sampai ke dadanya.

Sampai di pertengahan tangga, Kisha tersenyum getir melihat Aira yang menangis dalam pelukan Ringga. Mereka sudah tidak tahu malu. Lalu, apalagi yang mau mereka jelaskan? Semua yang dia lihat sudah cukup menjelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi.

Di lain tempat, Gara menyeringai bisa mendengar kegaduhan dari dalam rumah besar itu.

Disempurnakan Cinta (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang