II

210 24 5
                                    

"Mengapa harus aku ?"

***

Suara keributan akibat aktifitas di kota metropolitan masih menjadi nyanyian dimalam dengan bulan bersinar penuh ini. Ribuan bintang yang bersinar diatas sana, menjadi lukisan indah yang sedang dinikmati seorang pemuda di taman rumah sakit.

Pemuda itu tidak sendiri, di sampingnya, duduk wanita cantik yang sejak beberapa hari ini telah menjadi pendengar ceritanya yang baik.

"Menurutmu apa arti keluarga ?" tanya wanita itu, memecahkan keheningan diantara dia dan pemuda yang duduk disampingnya.

"Keluarga ... tempat dimana aku kembali pulang," lirih pemuda itu diakhir kalimatnya.

Ia tidak begitu yakin akan jawabannya, hatinya masih merasa gundah. Jika ingin jawaban sebenarnya, maka ia sendiri tidak mengerti makna keluarga itu apa.

Dia terbiasa berada di luar 'lingkaran' keluarga.

"Lalu, jika rumah tempatmu kembali tidak ada, apa yang kau rasakan ?"

Pemuda itu tertegun. Matanya perlahan memanas, hatinya menjadi perih seketika, bayangan tentang masa lalunya kembali teringat.

"Aku ... merasa sangat kehilangan."

Wanita itu menoleh kesamping setelah ia mendengar nada parau pemuda itu. Wanita itu tersenyum tulus lalu mengusap bahu lebar pemuda itu.

"Apa kamu takut ?" tanyanya ambigu.

Pemuda itu mengangguk. Ia mengusap matanya, mencegah agar kedua bola mata itu tidak menitikkan air mata.

"Aku takut. Sangat..."



***



Sudah seminggu berlalu dan hubunganku dengan ibu tidak kunjung membaik. Ayah sempat marah padaku setelah mendengar penuturan ibu, namun dia menjadi sosok pertama yang mengajakku kembali berbicara.

Walaupun tidak se-intens dengan Yohan.

Suara ketukan pintu membuatku menoleh dari kaca lemariku. Kupikir karena itu ketukan dari ibu, aku berjalan cepat dan membukanya.

Namun yang kudapati adalah Yohan. Dia berdiri dengan menunduk sembari memainkan kedua jarinya.

"Junho...ayo turun, kita sarapan," rancunya. Ingin sekali aku mendorong dia agar kepalanya terbentur dan bisa berbicara layaknya orang normal.

Tapi aku masih ingat kedua orangtuaku yang menyayangi anak ini. Aku tidak mau lebih jauh berurusan dengan dia.

"Iya, awas !" ucapku lalu menggeser tubuhnya dan berjalan ke ruang makan.

Sesampainya disana, aku sudah duduk disebelah ayah. Di depanku ada ibu yang masih enggan menatapku.

Hhh sebegitu marahnya kah dia ? padahal Yohan sudah kembali, lalu mau apa lagi ibu ?

"Appa, hari ini aku jangan memintaku pulang bersama Yohan. Aku ada jadwal lain," ucapku mencegah ayah agar tidak memintaku pulang bersama Yohan.

Dan anak yang dibicarakan pun datang, namun belum sampai dia di meja makan, dia terjatuh karena tersandung.

Seperti biasa, aku sudah bosan melihatnya.

"Ya Tuhan, Yohan-ie, kamu hati-hati sayang kalau jalan," ucap ibu seketika dia menghampiri Yohan.

Wajahnya yang tadi terlihat acuh, cepat berubah jika berhubungan dengan Yohan. Keduanya berjalan bersama hingga duduk di kursi masing-masing.

LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang