"Sampai kapan ?"
***
Pintu di sebuah kamar terbuka, seorang pemuda muncul dibalik pintu itu. Dibukanya lagi benda persegi panjang itu lebih lebar lalu berjalan masuk ke dalam ruangan yang tidak begitu besar, namun tidak begitu kecil juga.
Langkah kakinya membawa tubuh pemuda itu ke ranjang yang dahulu di tempati seseorang yang berharga untuknya, namun terlambat untuk dia sadari.
Tangannya di gerakkan untuk mengusap ranjang itu. Membayangkan dirinya mengusap tangan orang itu.
"Hhh, kau memang bodoh Cha Junho, sangat bodoh," ejeknya pada diri sendiri.
Junho, pemuda itu menoleh ke atas, ke langit-langit kamar itu yang berhiaskan lukisan malam berbintang.
"Hyung memang hebat," pujinya tanpa sadar.
Tidak terasa, air matanya menetes. Junho tidak menyadarinya, ia masih terlalu sibuk memandangi lukisan yang dibuat oleh seseorang yang dia panggil hyung.
Sadar dirinya menangis, Junho segera mengusap matanya. Ia bangkit berdiri lalu kembali berkeliling kamar itu. Sampai beberapa menit kemudian, ia menemukan sesuatu yang menarik.
Sebuah handuk berwarna biru muda, dengan jahitan bertuliskan Cha Junho. Pemuda itu mengambilnya lalu meremat benda itu, menyalurkan rasa sedihnya, sampai membuatnya kembali menitikkan air mata.
Ia tidak peduli jika dikatai cengeng, ia ingin melimpahkan semua perasaan jujurnya. Tidak ada lagi topeng yang masih ia pertahankan.
Ia sudah lelah.
Handuk itu, Junho sangat ingat, handuk yang di beli oleh kakak-nya saat ia masih duduk di kelas 10. Handuk yang sempat ia injak-injak dan ia buang karena merasa hina menerima handuk itu dari orang yang ia benci dulu.
Ya, ia sangat membenci kakak-nya dulu.
Dan sekarang ia mengumpat pada dirinya sendiri.
Hujan perlahan mulai turun, semakin lama semakin deras, membuat Junho mengalihkan pandangannya dari handuk itu ke arah luar jendela.
Ia berjalan ke jendela lalu mengintip suasana luar. Pemukiman rumahnya sudah basah diguyuri hujan deras, anginpun bergerak cukup kencang.
Suara petir mulai berdatangan menemani hujan. Junho teringat pada masa saat ia kecil dulu. Dia yang sangat takut dengan suara petir, berlari dari kamarnya menuju kamar sang kakak.
Ya, Junho kecil dulu sangat takut dengan petir. Sampai ia hanya bisa tertidur jika kakak-nya menemaninya. Dia tidak tahu kalau kakak-nya juga takut dengan petir.
Namun saat itu masih terlalu kecil untuk menyadarinya. Ia hanya ingin berlindung dari ketakutannya. Mengabaikan fakta bahwa kakak-nya ikut bergetar ketakutan sesaat setelah ia mengucapkan kalimat menenangkan.
"Jangan takut, hyung ada disini."
"Junho tidur saja, biar hyung yang menjaga."
Dan lain-lain. Kata-kata yang seharusnya ia sendiri yang mengatakannya. Dia lah yang seharusnya menjaga sang kakak, bukan kakak-nya yang kekurangan yang harus menjaganya.
"hhhh." Pemuda itu menghela nafas. Ia berjalan ke arah ranjang lalu merebahkan tubuhnya.
Di pejamkannya kedua kelopak matanya lalu membayangkan wajah kakak yang ia rindukan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letter
FanfictionALERT !!! X1 & PROUCE X 101 FANFICTION Sinopsis Kisah bagaimana remaja bernama Cha Junho menjalani hidupnya dengan kakak yang memiliki keterbatasan mental. Hidupnya tidak sesempurna orang-orang, keluarganya lebih 'memandang' Yohan dibandingnya. Dan...