III

188 21 14
                                    

"Kenapa aku tidak menemukan jawabannya ?"

***

Duduk termenung, menatap genangan air di gelas yang tersaji di hadapannya. Pemuda berperawakan tampan itu perlahan mendongak, menatap wanita yang baru saja tadi mendengar keluh kesahnya.

"Noona..."

"Hm ?" sahut wanita itu.

"Apa noona pernah merasa kehilangan sosok yang sangat berharga di hidup noona ?" tanya pemuda itu.

Wanita itu mengalihkan pandangannya dari benda pipih yang ia mainkan beberapa menit tadi, ditatapnya pemuda yang baru saja bertanya.

"Pernah. Dua kali, aku mengalaminya dua kali."

Pemuda itu menangkap raut kesedihan diwajah wanita yang sudah ia anggap noona-nya itu. "Siapa saja mereka, noona ?"

Orang yang ditanyai tersenyum kecil. Ia kemudian membuka salah satu foto di galery ponselnya, lalu menunjukannya pada pemuda yang usianya 10 tahun lebih muda.

"Kakek-ku dan ... sahabatku."

"Apa rasanya sangat sakit ?" tanya pemuda itu lagi. Setelah ia pandang foto itu, ia percaya kedua orang itu sangat berharga di hidup wanita didepannya.

"Sangat. Seperti kehilangan sosok yang selalu melindungimu, memanggil namamu, menjagamu, selalu tersenyum bahkan disaat kamu sendiri yang melukainya."

Pemuda itu mengangguk paham. Jika dirinya berada diposisi wanita itu, dia pasti akan merasakan hal yang sama.

Lalu apa tujuannya bertanya seperti itu ?

"Kadang ada waktu dimana aku mengeluh dengan kehadiran mereka. Tapi saat mereka tiada, aku benar-benar sangat frustasi. Ah ! sepertinya aku tidak bisa lama menemanimu, suami-ku sudah menghubungi. Sampai jumpa lagi !" Wanita itu merapihkan tas-nya lalu bangkit berdiri. Namun, sebelum ia benar-benar pergi dari sana, wanita itu sempat berbalik dan mengucapkan sesuatu pada pemuda yang dianggapnya adik.

"Apapun yang kamu punya saat ini. Hargai mereka dan lindungi, terlepas dari mereka yang kamu anggap sebagai musuhmu sendiri."



***



Hari ini tidak seperti biasanya, di meja makan, hanya ada aku, ibu dan ayah. Tidak ada Yohan, tumben sekali, bukan ?

"Eomma, hyung dimana ?" tanyaku sekedar basa-basi. Karena tidak ada Yohan disini, sekarang adalah waktu yang tepat untuk-ku dekat dengan ayah dan ibu.

"Hyung-mu sedang sakit. Semalam ia demam tinggi, eomma tidak tahu kenapa dia tiba-tiba seperti itu."

Demam tinggi ? ah sepertinya karena kejadian yang kulihat kemarin.

"Junho," panggil ayah. "iya, appa ?" sahutku.

"Apa kamu tahu bagaimana kehidupan sekolah Yohan ? selama ini Yohan selalu mengatakan baik-baik saja, tapi perasaan appa mengatakan yang lain. Apa Hyung-mu dijahili ?":

Aku terdiam, Bagaimana ini ? tidak mungkin aku mengatakan bahwa hampir setiap hari Yohan menjadi bahan hiburan oleh teman-temannya.

"Yang aku lihat baik-baik saja, appa. Hyung selalu bersama dua teman setianya itu." Terpaksa aku berbohong.

"Ahh benar, mereka sepertinya yang mengantar pulang Yohan kemarin. Mereka benar-benar anak yang baik, yeobo," sahut eomma.

Mereka bernafas lega, seolah telah menemukan penjaga yang terpercaya untuk anak emas mereka. Tapi aku tidak peduli, selama hidupku bisa berjalan tenang tanpa diganggu oleh anak itu, aku tidak masalah.

LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang