Bab II - Lost

592 51 4
                                    


"And once, when the Boy was called away suddenly to go out to tea, the Rabbit was left out on the lawn until long after dusk, and Nana had to come and look for him with the candle because the Boy couldn't go to sleep unless he was there."-Velveteen Rabbit, Margery Williams.

Pagi hari hingga pukul tiga sore, aku bertugas sebagai dokter magang di Instalasi Forensik Rumah Sakit Kasih. Setelah lulus dokter, aku memantapkan diri untuk mengambil pendidikan spesialis forensik karena sejak koas, bagian ilmu kedokteran forensic-lah yang menjadi favoritku. Memberi keadilan pada mereka yang tidak bisa lagi menuntut, memberikan kepuasan tersendiri untukku. Karena itu, setelah Surat Tanda Registrasi dokterku keluar, aku langsung melamar kerja magang di Instalasi Forensik Rumah Sakit Kasih. Dua orang dokter forensik—dokter Arman dan dokter Monica—berkali-kali menanyakan keputusanku memilih forensik.

"Bidang ini masih jarang sekali diminati lho, Kay," ujar dokter Monica. "Kamu yakin siap berurusan dengan jenazah yang sudah membusuk atau tidak utuh?"

Aku mengangguk. "Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Dokter. Mohon bimbingannya."

Ketika aku masih seorang koasisten, dokter-dokter di bagian forensik termasuk coass-friendly. Mereka tegas, tetapi baik dan mau membimbing. Kadang di luar jam kerja, mereka sering mengajak para koasisten mengobrol santai. Kami jadi merasa nyaman belajar di bagian forensik.

Aku sempat mengira keputusanku menjadi dokter magang di bagian forensik akan membuat hubunganku dan Troy terasa aneh. Bagaimanapun, Troy bekerja di dunia yang dijuluki 'dunia hitam'. Makanya aku heran ketika Troy tampak antusias dan bahkan memberiku selamat saat aku diterima bekerja di Rumah Sakit Kasih.

Sekarang sudah hampir satu tahun sejak aku bekerja magang. Kami masih bisa menjaga janji kami, yaitu memisahkan urusan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Aku harap kami bisa terus seperti itu.

Pagi itu, seperti biasa aku datang ke Instalasi Forensik Rumah Sakit Kasih. Setumpuk status pasien sudah menantiku di sana. Ada juga sebundel kertas yang merupakan draft laporan visum et repertum korban yang kemarin baru diautopsi.

Aku pun memulai rutinitasku hari itu, mengoreksi laporan visum et repertum tersebut. Sekitar Pukul dua siang, Fachrie datang ke forensik.

"Hai, Kay! Aku baru dari persidangan kasus Bu Eriko. Pak Brandon sepertinya akan didakwa hukuman mati, karena dia terbukti melakukan pembunuhan berencana." Fachrie mengambil kursi plastik dan duduk di samping meja kerjaku. "Seharusnya kamu ikut sidangnya tadi, seru sekali!"

"Dokter Monica bagaimana?" tanyaku.

"Beliau pulang. Kecapean. Sidangnya berat sekali. Beliau kena cecar oleh pihak Pak Brandon yang mempertanyakan valid atau tidaknya bukti forensik." Fachrie mengangkat bahu. "Yah, tapi mau bagaimana? Kebenaranlah yang bicara."

"Fiat justicia et pereat mundus ...", ujarku.

"Kebenaran harus ditegakkan walau dunia binasa.", Fachrie mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya, "Ngomong-ngomong, liat ini deh... belakangan ini beberapa kali ada penemuan jenazah tidak dikenal. Jenazah-jenazah tersebut dibawa ke beberapa rumah sakit berbeda, sesuai wilayah penemuannya. Tapi... coba kamu perhatikan identitas khusus di jenazah-jenazah ini. Mereka semua punya tato yang sama. Berbentuk abstrak di pinggang."

Aku menelan ludah saat melihat foto-foto di ponsel Fachrie. Di sana terpampang foto-foto jenazah dengan kondisi sangat mengenaskan. Beberapa di antaranya mulai masuk tahap pembusukan.

AbsurdWhere stories live. Discover now