Bab IX - Haunted by The Truth

258 30 0
                                    


Aku mengingat semua detail sore itu. Langit senja yang berwarna kemerahan, wangi mentega dari roti yang sedang dihangatkan di microwave, suara klakson mobil bersahut-sahutan dari jalanan ... aku dan Troy duduk di salah satu sudut convenience store yang sore itu tidak terlalu ramai. Troy duduk dengan sebelah kaki ia angkat, tangan kirinya memegang rokok yang menyala sementara tangan kanannya memegang kaleng minuman ringan. Sementara aku membacakan buku 'Watership Down' untuknya. Aku baru saja mencapai bagian dimana sekelompok kelinci tersesat di sebuah pertanian yang pemiliknya ternyata mengembangbiakan kelinci untuk daging dan bulunya, ketika Troy tiba-tiba menghela napas panjang.

"Dari dulu aku selalu bilang ke diri aku, hati-hati kalau udah merasa terlalu nyaman."

Aku mengangkat pandangan dari bukuku, "Maksudnya?"

"Waktu aku kabur dulu, sebelum aku ketemu Serpent, aku sempat tinggal di jalanan. Aku pernah ketemu sama orang yang baik banget. Aku dikasih makanan, pakaian, tempat tinggal yang bagus... aku tinggal di tempat itu sama beberapa orang temen. Lalu satu-persatu temen-temen aku ilang. Kebanyakan yang ilang itu temen aku yang perempuan... atau masih anak-anak."

Aku menelan ludah. Sepertinya aku tahu kemana arah cerita Troy.

"Ternyata mereka itu terlibat dalam perdagangan manusia, Kay. Aku dan beberapa orang temen aku akhirnya kabur. Nggak gampang kabur dari sana... ada temen aku yang tertangkap dan entah gimana nasibnya. Berbulan-bulan aku hidup kayak buronan, takut ketahuan salah satu orang di sana. Sampai akhirnya aku ketemu anggota geng Serpent."

"Lalu di Serpent, apa yang kamu rasakan?" tanyaku.

"Aku berusaha matiin perasaan aku selama di sana. Asal aku bisa hidup aja, udah cukup kok."

"Temen-temen kamu di Serpent? Mereka baik sama kamu?"

"Ya ... bisa dibilang gitu. Mereka tau rasanya jadi orang buangan, makanya kita solid.", Troy menghembuskan asap rokoknya, "Kalau kita mau bertahan ya ... kita harus solid."

Sejenak kita terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tidak jadi melanjutkan membaca 'Watership Down' untuk Troy.

"Tapi sekarang sih udah beda ... aku udah nggak takut lagi sama apapun."

Aku tersenyum tipis, "Ya iyalah. Kamu udah ditempa banyak hal kan selama di Serpent?"

"Tapi itu belum ada apa-apanya sama ketemu kamu, Kay."

"Maksudmu?"

"Kamu nggak sadar ya waktu awal kita ketemu, aku tu suka takut kalau terlalu deket sama kamu?" Troy tertawa pelan.

"Lho, kok gitu? Kenapa?"

"Aku sadar aku udah terlalu sayang sama kamu. Aku takut kehilangan kamu. Aku belom pernah ngerasain bahagia seperti waktu aku sama kamu. Cheesy ya? Hahaha ..."

Aku ikut tertawa, walau saat itu jantungku berdegup lebih cepat dan pikiranku blank. Aku tidak tahu harus mengatakan apa ke Troy.

"Setelah ngelewatin rasa takut itu dan menerimanya ... aku ngerasa udah gak takut lagi sama apapun. Kalaupun aku harus mati, aku bisa nerima itu dengan senyuman. Karena aku udah ngerasain bahagianya sama kamu ... aku udah nggak ada penyesalan apa lagi di hidup aku."

Suara musik yang terdengar nyaring menyentakanku dari lamunan. Aku kembali berada di ruang serba guna tempat seminar berlangsung. Sesi kedua seminar sudah berlangsung separuhnya tapi sejak tadi aku malah sibuk dengan pikiranku sendiri. Saat ini yang menjadi pembicara adalah seorang dokter forensik yang wajahnya sering kulihat wara-wiri di televisi juga. Beliau memulai sesi presentasinya dengan menampilkan video bertema 'peran dokter dalam proses peradilan'. Video itu menampilkan beberapa kasus besar, mulai dari kecelakaan pesawat, bencana alam, dan kasus pidana. Salah satu kasus yang ditampilkan di video itu adalah kasus Tuan Liam.

Aku terpaku di tempat dudukku saat melihat foto Tuan Liam semasa hidup. Foto itu seolah menatap ke arahku dengan pandangan menuduh. Gambar video berganti ke ayah Tuan Liam yang sedang saling mendorong dengan beberapa orang.

[Apa maksud pertanyaanmu itu, hah? Kalian juru warta apa tidak diajari untuk berpikir dulu sebelum bertanya?!] seru ayah Tuan Liam.

[Pak, Pak... sabar, Pak!] Beberapa wartawan tampak mencoba menenangkan Tuan Liam.

[Kalian mau berita? Oke saya kasih kalian berita.] Ayah Tuan Liam menuding salah satu kamera. [Saya bersumpah akan mencari pembunuh anak saya dan membuatnya membayar nyawa anak saya dengan nyawanya!] Dia berteriak marah.

Aku duduk terpaku di kursiku. Dokter pembicara mulai mempresentasikan topik bahasannya, tapi suaranya seolah berdengung. Yang bisa kudengar hanya detak jantungku sendiri. Pikiranku melayang ke Fiver yang masih tergeletak di ruang tamu apartemenku. Aku seperti tertarik-tarik ke dua arah yang berlawanan... antara iba pada keluarga Tuan Liam dan ingin melindungi Troy.

Namun ketika membayangkan Troy dibawa ke hadapan regu tembak, batinku berteriak agar aku tidak melakukannya. Aku tidak rela kehilangan Troy. Aku sayang padanya. Selama ini, dia selalu melindungiku. Mungkin ini adalah kesempatanku untuk melindunginya.

Aku akan menghancurkan Fiver begitu aku sampai di rumah, batinku. 

AbsurdWhere stories live. Discover now