Bab VI - Headline News & Wake Up Text

321 36 0
                                    


Akhirnya aku bisa mendapat kesempatan untuk sedikit rileks. Setelah sampai di apartemen, aku duduk di dekat jendela sambil menatap kelap-kelip lampu Ibu Kota ditemani secangkir teh chamomile yang kuharap bisa menenangkan pikiranku sedikit. Televisi kubiarkan menyala hanya sekadar agar apartemenku tidak terlalu sepi.

[Headline news. Saudara, kasus penemuan mayat tak dikenal di sungai akhirnya menemukan titik terang. Mayat telah teridentifikasi sebagai Liam Charles, 24 tahun, mahasiswa fakultas teknik di sebuah perguruan tinggi swasta....]

Aku nyaris terjatuh dari sofa apartemenku ketika aku berbalik menghadap ke televisi. Cangkir teh di tanganku terguncang hebat sehingga separuh teh panas di dalamnya menyiram tanganku, tapi aku tidak memedulikan rasa panasnya.

Layar televisi menampilkan seorang reporter lelaki, [Pemirsa, saat ini saya sedang berada di Instalasi Forensik Rumah Sakit Kasih. Keluarga dari korban Liam Charles baru saja selesai mengidentifikasi jenazah. Ibu korban kini berada di Instalasi Gawat Darurat karena pingsan setelah memastikan bahwa korban adalah anaknya.]

Tayangan televisi berganti. Tampak seorang wanita paruh baya sedang terbaring lemas di atas brankar yang berjalan menuju Instalasi Gawat Darurat.

[Korban kini masih berada di Instalasi Forensik Rumah Sakit Kasih. Korban akan segera diautopsi untuk mengetahui penyebab kematiannya.]

Di layar televisi tampak dokter Arman, Pak Herman, dan Fachrie sekilas. Mereka berbincang-bincang dengan seorang lelaki. Tak lama, tampilan di televisi berganti lagi. Lelaki tadi sedang diwawancara.

[Saya bersumpah akan menyelesaikan kasus ini.] ujar lelaki itu. Ada tulisan di sudut kanan bawah: Chandra Tresno – Ayah Korban. Lelaki itu berkata dengan penuh emosi. [Siapa pun yang sudah melakukan hal sekejam itu kepada anak saya... tidak akan lolos begitu saja. Saya tidak akan berhenti sampai dia menebus kesalahannya. Saya bersumpah!]

[Pemirsa, kita kembali ke studio....]

HP-ku berdering nyaring. Aku terlonjak kaget. Di layar HP tampak tulisan dr. Arman calling....

"Halo... selamat malam, Dokter...," sapaku

[Halo, Kay? Kita lagi siap-siap mau autopsi korban kemarin. Keluarga sudah mengidentifikasi korban dan setuju dilakukan autopsi.]

Kepalaku memutar ulang ekspresi wajah kedua orangtua korban. Ibu korban terbujur lemas di atas brankar. Ayah korban yang begitu terpukul. Aku memejamkan mata. "Iya, Dokter...."

[Kay? Kok suaramu serak? Kamu sakit, ya?]

"Iya, Dokter. Kepala saya sakit sekali...," ujarku. Aku tidak bohong. Saat ini, kepalaku terasa nyeri sekali seperti dipukul martil berkali-kali. Aku tidak mungkin bisa datang ke rumah sakit dalam keadaan seperti ini. Apa aku masih bisa mendatangi keluarga korban, mengucapkan duka cita, dan berjanji akan melakukan yang terbaik padahal sebuah bukti yang penting sedang kusimpan rapat-rapat?

[Oh, ya sudah kalau kamu sedang sakit. Kamu istirahat dulu saja. Biar saya dan para teknisi yang mengerjakan autopsi."

"Maaf, Dokter...," ujarku lirih.

[Ah, kamu ini! Nggak apa-apa, santai saja! Dari tadi pagi kamu memang kelihatan nggak sehat, kok. Besok kalau kamu masih sakit, kamu tidak usah masuk dulu. Kasihan kamu kecapean.] Dokter Arman terdengar riang seperti biasanya. [Cepat sembuh, Kay!]

"Terima kasih, Dokter...."

Sambungan telepon terputus. Aku terdiam menatap HP-ku. Fachrie sempat mengirim pesan, bertanya keadaanku, tapi aku mengabaikannya.

Aku mengganti tayangan ke saluran televisi anak-anak, berharap dengan menghindari tayangan berita tentang kasus itu aku punya waktu untuk menenangkan pikiran sejenak. Namun sia-sia saja. Tokoh-tokoh kartun seolah menatapku dengan pandangan menuduh. Ketika salah satu tokoh di tayangan kartun adalah seekor kelinci, aku seperti diingatkan pada Fiver yang kini ada di dalam tasku.

Aku meraih tasku dan mengeluarkan Fiver dari salah satu saku tas. Aku menatap sosok Fiver yang tengah mendongak ke atas.

Tanganku terayun melemparkan Fiver ke dinding. Fiver terpantul, lalu jatuh ke atas karpet apartemenku. Aku masih belum puas. Ingin rasanya aku menghancurkan Fiver sampai tidak berbentuk lagi atau membuangnya jauh-jauh sehingga tidak mungkin ditemukan. Dengan begitu, masalah akan selesai.

Namun, apa aku bisa hidup dengan tenang setelah itu? Kasus ini pasti akan tetap menghantuiku. Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Sebenarnya aku tahu apa yang harus kulakukan. Jauh di lubuk hatiku, aku tahu yang harus kulakukan adalah menelepon Fachrie atau Pak Herman dan menceritakan semuanya. Namun jika aku melakukannya, berarti aku akan menggiring Troy ke hadapan regu tembak.

Apa yang Troy lakukan adalah tindak pidana serius. Dia telah melakukan pembunuhan berencana dan dia harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Fiver kemungkinan adalah salah satu barang bukti kunci atas kasus ini. Namun, aku tetap tidak sanggup mengangkat telepon untuk memberi tahu Pak Herman atau Fachrie mengenai hal ini. Membayangkan Troy berada di dalam sel menunggu hukuman mati membuatku merasa hampir kehilangan akal.

Aku masih tidak bisa memutuskan apa yang harus kulakukan terhadap Fiver. Aku menghabiskan malam itu dengan duduk meringkuk di sofa apartemenku, hingga pada satu titik aku tertidur kelelahan. Aku terbangun oleh suara ponselku yang menandakan ada sebuah pesan di Whatsapp. Dari Fachrie.

Kay, hari ini kamu jadi ikut seminar forensik, kan?

Ah iya ... hari ini ada seminar ilmu kedokteran forensik. Acara yang sudah kutunggu-tunggu sejak lama karena akan ada banyak dokter ahli kedokteran forensik terkenal yang menjadi pembicara serta presentasi-presentasi penelitian. Entah kenapa, aku justru merasa tidak bersemangat. Andai saja aku tidak ditugaskan oleh rumah sakit ... aku memilih untuk tidak datang.

Dengan langkah gontai, aku mulai bersiap-siap untuk pergi ke acara seminar.

Saat keluar dari unit, aku melihat Fiver, masih tergolek tak berdaya di atas karpet.

AbsurdWhere stories live. Discover now