Eskalasi Rasa dalam Sebuah Rumah #12

4 0 0
                                    

Aku sendirian menenggak segala sepi dan rasa bersalah sekarang. Hari-hariku hanya kuisi dengan duduk di sofa tempat kita biasa berdua. Bedanya sekarang aku sendiri. Membersihkan rumah, minum teh, bahkan mengisi buku harian semua sendiri. Buku itu tak seperti dulu lagi, dimana semua isinya tentang kita, sekarang hanya berisi tentang aku. Tentang diriku yang menahan segala rindu. Aku sedih dan menyedihkan memang, tak dapat berbuat apa-apa untuk membuatmu kembali ke rumah kita. Rumput di taman kita mulai tinggi tak beraturan, kayu-kayu mulai lapuk, perabot berdebu, dan foto-foto kita yang terpasang rapi di dinding sekarang kusam, pudar, dan berjatuhan ke lantai.

Ku ratapi segala kesalahan, berusaha memaafkan diri. Tapi percuma, aku lebih suka membusuk bersama segala kenangan kita, rumah kita. Semoga kau kembali Na, aku tunggu."

"Gimana Lus?"

"Daf."

"Iya Lus?"

"Ini parah sih. Keren surat cintamu hahaha." Lusi terbahak.

"Ah, masa sih?"

"Iya, pasti Ana mau balik lagi habis baca ini," katanya sambil meng-acungkan jempolnya ke wajahku.

Setelah surat itu selesai, Lusi lalu buru-buru mengajakku pergi ke rumah Ana sesegera mungkin dan waktunya memang sangat pas, jam setengah tiga. Ana pasti barus sampai dirumah sekarang. Lusi membayar semua harga sewa di pemancingan dari harga sewa tempat dan tongkat pancing. Lalu Lusi kembali menyetop sebuah angkot dan kami pergi ke rumah Ana sambil mempersiapkan beberapa rencana yang kami rancang di dalam angkot.

"Daf, kamu nanti masuk ke rumah Ana sendiri, aku tunggu di seberang jalan. Kamu basa-basi dulu ke dia baru keluarin suratnya."

"Basa-basi yang seperti apa Lus? Aku bingung."

"Udah kamu tanya kabar aja. Terus tanya kabar keluarganya. Udah gitu-gitu aja. Terus minta maap. Nah, habis itu keluarin deh suratnya, kasihin ke dia."

"Oh iya, iya, aku paham."

Angkot pun berhenti tepat di seberang rumah Ana. Lusi berkata kepada supir angkot untuk menungguku dulu. Lalu, aku pergi menuju rumah Ana. Kaki gemetar, pandanganku sedikit merunduk dan tanganku berkeringat. Lalu, sampailah aku tepat di depan pintu rumah Ana. Baru hendak mengetuk, tiba-tiba pintu itu terbuka.

Eskalasi Rasa dalam Sebuah RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang