Aku coba menyusun kata dari apa yang kuliat disekitar. Menyusun analogi-analogi dan diksi-diksi yang kira-kira bisa kumasukkan dalam kertas kosong yang nantinya akan menjadi surat cinta mmm.. maksudku surat permohonan maaf. Kupandangi tambak ikan, pepohonan, barisan gazebo dan orang-orang yang sedang bersantai. Semua yang ada disini seperti sebuah kesatuan aktivitas yang menyenangkan, suara tawa dan keseruan tapi terasa tenang, sejuk desir angin dan riak air tapi tetap hangat. Seperti sebuah rumah.
"Rumah!" Suaraku sedikit keras, cukup untuk mengejutkan Lusi yang sedang berjongkok menunggu pancing.
"Kenapa Daf?" kata Lusi kaget.
"Rumah Lus, rumah. Aku sudah tahu harus menulis apa."
Aku langsung menulis dengan cepat dan hati-hati. Beberapa kali ada kata yang kucoret. Suratnya menjadi kotor oleh coretan, tapi tidak apa-apa, masih bisa disalin di kertas lain. Lusi sendiri sudah duduk disebelahku sekarang dan meninggalkan tongkat pancing yang disewa begitu saja. Kalau pancing itu ditarik ikan, selesai sudah. Pancing itu akan tenggelam dalam tambak, karena dua orang ini sedang teralihkan perhatiannya.
"Gimana Daf? Udah selesai?" Tanya Lusi.
"Bentar Lagi Lus," kataku dengan masih fokus ke surat.
"Tapi itu kotor ya, banyak coretannya."
"Bodo amat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eskalasi Rasa dalam Sebuah Rumah
RomanceDafa seorang laki-laki yang terjebak dalam rasa bersalah. Sedangkan, Lusi perempuan yang ceria, ramah dan baik pada Dafa. Mereka berteman baik, tidak ada yang disembunyikan antara satu dengan yang lain. Sampai suatu ketika salah satu diantara merek...