Kadang kita terlalu keras memperjuangkan sesuatu padahal apa yang kita butuhkan tak menuntut itu. Bahkan tak jarang hal-hal itu sudah ada di sekitar kita, menemani kita dan bersama kita selama ini. Hanya saja ambisi membuat kita gengsi hingga buta dan tuli untuk menyadari.
***
Now playing: Coldplay-Fix you
***
Kaki Al membawanya pergi sejauh mungkin meninggalkan ruangan tempat seleksi debat dilaksanakan. Hingga napas yang tersengal memaksanya berhenti di salah satu lorong sekolah yang sepi. Tempat yang mungkin terlihat aman untuknya saat ini, tapi kesuanyian bukanlah teman yang ramah untuknya sekarang. Sebab suara-suara yang dibencinya itu jadi punya ruang. Ruang yang makin keras di kepalanya. Ruang yang makin mampu mengambil alih kontrol atas dirinya.
Al yang kepayahan memilih duduk di salah satu bangku yang ada di dekatnya. Dia mencoba untuk mengontrol dirinya. Namun suara-suara itu makin menjadi-jadi, membuatnya tak lagi bisa bertahan. Dia meremas lengan kirinya dengan kuat, tapi rasa yang dicarinya tak juga bisa ditemukan. Al yang sudah tidak tahan lagi akhirnya merogoh saku celananya. Dia menemukan benda yang sejak tadi dia simpan di sana. Dia ambil benda itu dan segera dia mencari kamar mandi terdekat. Dia berjalan mengendap-endap, melihat kanan-kirinya berharap tak ada satu pun yang menemukan dirinya saat ini.
Derap langkah penuh amarah yang dikombinasikan dengan suara naik-turunya cutter di tangan kanan Al, membuat suasana makin pekat dengan keputusasaan. Sedangkan Al seperti sakau terbawa deras arus suara pikirannya. Kepalanya memberat dan rasa ingin segera mencari kesakitan lain semakin menumpuk dalam dirinya. Hingga tanpa dia sadari langkahnya jadi makin cepat dari sebelumnya.
Sekitar 10 langkah lagi dan semua ini akan berakhir. Begitu pikirnya hanya saja semua tak berjalan mulus karena baru pijakan ketiga sebuah tangan menarik pergelangan tangan kirinya. Awalnya Al mengacuhkan dan tetap meneruskan perjalanannya, tapi genggaman yang makin kuat itu akhirnya mampu memaksanya berhenti. Dia membalikkan badan dan menemukan ternyata Nila yang sejak tadi mencoba menghentikan perjalanannya. Sontak dia menyembunyikan cutter di belakang punggungnya.
"Al...," sapa Nila dengan wajah khawatir.
"Nil, please aku lagi nggak pengen diganggu jadi tolong biarin aku sendirian dulu."
"Kamu mau kemana?" tanya Nila untuk melepas keingintahuannya.
"Kamar mandi," sahut Al setenang mungkin agar tidak membuat Nila curiga dan Nila yang telah menemukan jawaban atas pertanyaannya pun melepaskan genggamannya.
Al membalikkan badan dengan tergesa-gesa karena dia tak lagi bisa menahan pedih yang diderita hatinya. Ketergesaan yang mampu membuat Nila melihat cutter yang sejak tadi disembunyikan Al. Sontak pikiran buruk menerkam otakn Nila. Tanpa berpikir panjang Nila mengambil langkah untuk merebut cutter itu. Sayang refleks Al cukup baik sehingga dengan sigap Al langsung mengangkat tangan kanannya. Nila yang hanya setinggi bahu Al jadi tak bisa meraih cutter itu.
"Aku dah bilang kan, Nil, tinggalin aku sendirian," kata Al yang sudah tak lagi bisa menahan kesadarannya lebih lama.
"Aku bakal ninggalin kamu sendirian, tapi nggak sama cutter itu."
"Ini cutter aku jadi terserah aku dan ini juga bukan urusanmu, Nil."
"Kamu salah, Al, ini jadi urusanku karena kamu temenku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Illustrationalove
Teen FictionNaldo atau yang lebih akrab dipanggil Al menjalani hidup dalam dunia penuh label. Di mana stigma-stigma berkumpul menjadi pakaian yang tak bisa dilepaskan. Standar kesempurnaan yang diyakini umat manusia pun menjelma menjadi topeng yang wajib dikena...