Apakah kedekatan laki-laki dan perempuan hanya bisa terbagi dalam dua kemungkinan; tulus atau modus? Tak bisakah keduanya berada dalam ruang rasa yang berbeda? Ruang bersama yang tak perlu nama....
***
Now Playing: David Archuleta- Crush
***
Senyum pemilik mata cokelat itu entah mengapa berhasil melahirkan tawa di wajah Nila dan seketika semua orang menatap mereka curiga. Dua sosok yang awalnya tak berkaitan itu kini tanpa alasan yang jelas saling menunjukkan tanda bahwa mereka telah terbiasa menyapa bahkan bersama. Teka-teki yang kini membuat otak mungil Hara jadi diburu tanya. Sepertinya ada hal penting yang telah dilewatkannya. Namun, sebelum Hara bisa mengajukan pertanyaan pada Nila, telah lebih dulu si pemilik mata cokelat itu berhasil menarik Nila dari keramaian yang mengganggunya. Si pembenci keramaian itu kini berjibaku dengan hal yang dijauhinya hanya demi membuat Nila bisa mengikutinya kini.
"Tadi beneran pangeran dementor kan ya yang senyum?" tanya salah seorang yang sejak tadi berada di samping Hara, tapi karena Hara masih sulit menerjemahkan yang terjadi dia jadi tak mau tahu siapa pemilik suara itu.
Suara-suara pun keluar bersahutan dengan pola yang sama yaitu menanyakan kebenaran yang dilihat mereka barusan. Nila dan Al, dua kombo yang tak pernah terbayangkan itu kini jadi sorotan bahkan bahan pembicaraan. Tapi anehnya Hara yang dimahkotai mimin gossip di sekolah ini saja seakan tak mengetahuinya. Hara hanya bisa terdiam. Dia merasa dipermainkan sahabatnya sendiri. Bisa-bisanya kabar sepenting ini yang juga melibatkan sahabatnya, dia tak mengetahuinya sama sekali.
Sedangkan di sisi lain Nila masih merasa tidak percaya, temannya yang jarang senyum itu kini menarik pergelangan tangannya sambil tersenyum. Bahkan Al yang biasanya benci jadi pusat perhatian, detik ini seakan tak peduli dengan apa pun. Al membawa Nila ke tempat pertama kali mereka mengobrol panjang lebar. Di salah satu bangku dekat lapangan upacara itu Al menyuruh Nila duduk. Nila masih menerka apa yang sebenarnya ada dipikiran Al sekarang hingga sosok Pak Jono datang membawa bekal makanan yang membuat Nila sedikit paham.
"Jadi kamu bawa aku ke sini karena mau bikin aku nyicipin makanan ala anak priyayi nih?" tanya Nila menggoda Al.
"Udah deh stop mainan priyayi ma prolektarnya, aku cuman mau mastiin kamu makan dan minum obat tepat waktu."
"Al, aku tuh minum obat cuman pagi ama malem. Ini mah udah menuju siang dan aku dah minum obat juga."
"Iya, tapi makan kan juga kudu tepat waktu."
"Makan juga cuman tiga kali sehari kali, Al. Aku dah sarapan, nih juga belum waktunya makan siang."
"Selama bareng aku bakal aku pastiin kamu makan lebih dari tiga kali. Jadi stop protesnya dan makan." Al memberikan Nila sendok dan garpu, Nila mengambilnya secara refleks. Kemudian Al membuka satu-persatu kotak makan yang tadi dibawakan Pak Jono.
Pantes dia dapet julukan Pangeran. Pikir Nila setelah melihat bekal makanan yang dibawa Al. Makanan lengkap ala hotel bintang lima.
"Kamu tiap hari makan begini, Al?"
"Kenapa kamu mau ngejek aku jadi anak priyayi lagi?"
"Bukan, maksudku kamu sering bawa bekal gini ya? Abis aku jarang liat kamu di kantin sih."
"Kenapa? Kayak anak mami ya?"
"Kan kamu nih negatif mulu mikirnya."
"Iya, aku dari pertama masuk sekolah selalu dianterin bekal makan kayak hari ini. Ya, kayak kamu taulah semua yang ada di hidupku tuh udah diatur. Nggak hanya soal besar kayak cita-cita, tapi juga hal kecil kayak makanan yang masuk di tubuhku. Semua udah ditentuin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Illustrationalove
Teen FictionNaldo atau yang lebih akrab dipanggil Al menjalani hidup dalam dunia penuh label. Di mana stigma-stigma berkumpul menjadi pakaian yang tak bisa dilepaskan. Standar kesempurnaan yang diyakini umat manusia pun menjelma menjadi topeng yang wajib dikena...