4 | Tudingan Pertama

7.5K 1.1K 46
                                    

"Gila, lo, Bang! Astaghfirullah ...."

Kalimat Barda meluncur begitu saja setelah pria itu keluar dari kelasnya, menyamai langkahnya dengan Pewe. Lengkap dengan istighfar-nya yang sering keluar dari mulutnya acap kali mengetahui kegilaan Pewe. Yang dikatai gila sudah tak peduli saking sudah biasanya. Cowok itu mendaratkan bokongnya di lantai koridor, mulai menekuni kembali proposal seminar yang dibuat timnya, menyesuaikannya dengan brosur hasil desainnya yang baru direvisinya.

"Lo udah keseringan bilang istighfar sehabis bilang gue gila. Tapi tetep aja ngatain gue gila," ucap Pewe tanpa melihat Barda.

"Ya makanya jangan diulang-ulang gilanya," kata Barda seraya mengintip lembaran yang Pewe tekuni.

"Gila sebelah mananya, sih?"

"Lo beneran baca thread-nya Gika?"

Pewe mengangguk, masih dengan fokusnya pada pekerjaannya.

"Lo nggak lagi dalam mode ngebaperin cewek, kan?"

Pewe mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Barda. Pria itu menoleh, mendapati tatapan menyelidik Barda.

"Atau ngerjain cewek, gitu? Kayak anak BEM yang dulu jadiin lo taruhan?"

Kerutan pada kening Pewe memudar. Tatapannya datar, kemudian menggeleng, mengerti maksud Barda mengatainya gila setelah ingat kelakuannya setahun lalu mengerjai balik anak BEM yang mengencaninya untuk taruhan.

"Gue khawatir aja gara-gara lo segitunya sama Gika, sampe ngejar dia ke rumahnya segala."

"Dasarnya apa gue ngerjain dia?"

"Kali aja lo gedeg sama thread-nya dia yang mungkin emang gara-gara lo."

"Gue malah nggak kepikiran buat ngerjain dia, Bar," jawab Pewe. Dua malam lalu dia membaca thread Gika bermula dari balasan Barda pada cuitan panjang nan beruntut itu.

"Ya tadi lo kayak ngerjain dia, lo mau minta maaf soal thread lo itu kan?" Barda meniru gaya bicara Pewe. "Gimana gue nggak ngira lo lagi ngerjain dia? Pake nanya-nanya kondisi tangannya segala. Modus lo!"

Pewe tersenyum kecil, menggeleng melihat tingkah Barda yang baginya tetap seperti anak kecil sedewasa apa pun mereka kini.

"Masuk akal, sih, kalau dia gedeg sama gue. Tiap orang kan punya prinsip masing-masing. Kali aja gue ngusik prinsipnya," jelas Pewe. "Lo ngebahas ini malah jadi kasih gue ide buat ngerjain dia," kata Pewe iseng.

Barda melotot, dia menggeleng tak setuju. "Gika temen gue, Bang," katanya, kemudian menunduk.

Pewe melihat adiknya itu, sempat mengira kalau Barda menyukai Gika, tapi dugaannya sudah jelas salah. Bukan karena Barda yang memang sudah mengatakan kalau dia tak menyukai Gika dalam artian hubungan lelaki dan perempuan. Tapi Pewe juga tahu siapa yang tengah diincar Barda.

"Temen lo atau temennya cewek yang lagi lo incer?"

Barda berdecak. Cowok itu kembali menegakkan kepalanya.

"Lo jangan main-main sama dia. Jangan ngerjain dia. Jangan pokoknya. Titik!"

Mode kekanak-kanakan Barda tak pernah hilang jika sudah bersama Pewe. Lelaki itu akan memohon sememohon-memohonnya, dan akan merajuk semerajuk-merajuknya pada Pewe.

"Bocah! Gue nggak main-main. Lagian gue bersikap sewajarnya. Logika juga biasa aja. Salahnya di mana?"

Pewe masih tak paham kenapa Barda seheboh ini mengingatkannya. Bukan hal aneh saat Pewe menunaikan tanggung jawabnya. Pewe juga tak melakukan hal yang menembus batasan perempuan-perempuan seperti Gika. Pewe jelas mengerti. Tapi lewat sapaan singkat itu, di mana letak kesalahannya? Kegilaannya?

Halogika | Pre-order (2) 21 Desember 2022Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang