Waktu luang amat sangat tidak baik untuk kesehatan akal Pewe. Setelah menenggelamkan diri pada skripsinya, Pewe sama sekali tak bisa tidur. Padahal rapat tadi sore menguras tenaganya habis-habisan. Matanya yang tak kunjung terpejam akhirnya mengantarkannya untuk menekuni gawainya, membuka-buka semua media sosial yang dimilikinya, tak terkecuali instagram yang jadi tempat unggahan hasil pekerjaannya seperti gambar-gambar di dinding belakang kampus yang jadi spot foto para mahasiswa, misalkan.
Pewe menyimpan gawainya kembali, mencoba menekuni skripsinya lagi. Dasar manusia, layaknya yang lain, hanya tugas membosankan seperti itu yang mampu membuat matanya mengantuk. Namun saat kembali berbaring, kantuk itu pergi lagi. Pewe pun memilih mengisi waktunya dengan membaca buku yang masih terbungkus plastik; Gelandangan di Kampung Sendiri, karya Emha Ainun Nadjib. Sebelumnya dia tak pernah membaca buku karya beliau. Judul itulah yang membuat Pewe akhirnya tertarik untuk membawanya pulang saat menjelajah di toko buku mencari buku untuk referensi skripsi yang tak ditemukannya di perpustakaan kampus.
Tiba di halaman 40, bagian yang membahas soal pembunuhan famili. Pewe menekuni sebuah narasi yang yang membuatnya berpikir, membacanya ulang, hingga merenungkannya.
Dalam cara berpikir hukum formal, peristiwa itu berdiri sendiri. Namun, demikian pulakah menurut cara berpikir sosiokultural? Apalagi, cara berpikir religi-universal? Terutama kalau kita memahami apa yang disebut kausalitas historis atau sebab-akibat kesejarahan setiap gejala perilaku manusia?
Apakah para pelaku kejahatan dan sadisme yang teramat istimewa itu akan kita suruh bercermin, ataukah mereka adalah justru cermin terpampang di depan wajah kita?
Sebab-akibat, benar. Tak akan ada asap kalau tidak ada api. Yang terjadi adalah banyak manusia yang tak sadar telah menyulut api. Yang tak banyak disadari juga adalah panasnya api yang disulut tak hanya sampai pada tujuan dinyalakannya. Mengerikan.
Pewe jadi teringat sesuatu. Siapa yang mengerjainya belakangan ini? Setelah kejadian motor Gika yang ketumpahan cat olehnya, Pewe kehilangan flashdisk yang dijadikannya sebagai penyimpanan file cadangan tugas-tugasnya. Bahan tambahan untuk presentasi akhir seminarnya pada Redo ada di sana. Pewe tak yakin kalau dia yang ceroboh. Segalanya tertata, tak ada yang pernah tertinggal, terlewatkan.
Menutup bukunya, Pewe bermaksud kembali mengecek bahan untuk seminar yang diketuainya. Mengecek ranselnya, saku jas almamaternya, jaketnya hingga celana yang tadi dipakainya. Tidak ada. Mungkin benar lagi dan lagi dia dikerjai orang.
Melihat jam yang sudah menunjukan pukul 4 lebih 10 menit, Pewe beranjak ke luar kamar kosnya. Dia sangat berharap kalau angin subuh mau membantunya untuk menahan kantuk setidaknya sampai dia menunaikan kewajibannya. Pewe menumpukan tangannya pada pagar pembatas, melihat sepinya rumah sang pemilik kosan tempatnya.
"Jang Pewe bade ka masjid?"
Pewe melongokkan kepalanya ke bawah, melihat seorang kakek yang diketahuinya masih keluarga dari sang pemilik kosan.
"Hayu, Bah," jawab Pewe kemudian melihat ke dalam kamarnya, menutup pintunya, kemudian menuruni tangga, menghampiri Abah yang nampak sedang mencari sandal.
Tak ada sepi yang melingkupinya selama dua tahun ke belakang menjadi anak kosan. Pertama kali memutuskan untuk tinggal sendiri, Pewe tidak pernah pindah-pindah. Harga yang terjangkau oleh kantongnya, lingkungan yang tak membuatnya was-was, serta jaraknya ke kampus yang jadi pertimbangan utamanya.
"Percuma nge-kos kalau jaraknya jauh ke kampus." Begitu kurang lebih apa yang dikatakan papanya. Sementara mamanya, "Harus nge-kos ya, Bang?"
Setelah ulang tahun ke-20, hanya itu yang Pewe minta pada kedua orangtuanya, tinggal sendiri. Alhasil, Pewe hanya pulang seminggu bahkan sebulan sekali. Tambahan menginap semalam atau dua malam, menguasai kembali lantai atas rumah yang kini hanya ditinggali Barda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halogika | Pre-order (2) 21 Desember 2022
Fiksi UmumJenjang pendidikan yang baru. Kawan-kawan yang baru. Dunia yang baru. Stereotipe yang baru. Begitulah yang dialami Logika ketika mempelajari ilmu filsafat sebagai mahasiswa baru. Ia bukan hanya harus mengatasi kecemasan keluarganya yang konservatif...