7 | Tidak Ada Yang Namanya Kebetulan

6K 1K 50
                                    

Senin adalah waktu di mana Gika memulai kembali perkuliahannya, Ana kembali ke pekerjaannya, dan Nara, anak bungsu Lika dan Wadi yang kembali ke sekolah, jam 6 pagi tadi. Tinggal Wadi yang merapikan barang dagangan di warung, Lika yang sudah sibuk di dapur, Ana yang bersolek di depan cermin, dan Gika yang masih santai-santai di teras rumah.

Usai mandi, Gika memilih menikmati minuman paginya dulu sebelum bersiap-siap ke kampus. Secangkir kopi gunting yang diambilnya dari warung, tambahan gorengan bonus dari tetangga yang titip jual di warung. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

Hendak menetralisir rasa gorengan pada mulutnya, Gika bangkit dari duduknya, mengambil air mineral. Dilihatnya Ana yang sudah siap dengan pakaian kerjanya yang begitu formal. Kemeja berbahan jatuh yang dimasukan ke celana dasar. Kerudungnya diikatkannya di belakang lehernya, menjadikan wajah ovalnya nampak lebih sempurna. Sedikit rambutnya terlihat oleh Gika, bak ibu-ibu pejabat. Gaya Ana jauh berbeda dengan Gika yang begitu santai. Kali ini Gika memakai kaus belang-belang dan overall biru dongker, serta kerudung charcoal yang sudah disiapkannya di atas ranselnya.

Analisa Kemala Dewi

Assistant Manager Accounting

Gika melihat nametag yang tergeletak bersamaan dengan tas Ana. Tasnya saja bermerek terkenal. Sepatunya, Gika sendiri hanya memiliki sepatu seperti itu untuk pergi ke undangan dan acara-acara formal. Jauh. Sangat jauh.

"Bun, lihat botol minum buat infused water Kakak, nggak?" tanya Ana sedikit berteriak.

"Teriak teriak," kata Gika pelan, namun membuat Ana menoleh padanya.

"Bun ...." kali ini Ana menghampiri bundanya, sementara Gika kembali ke teras rumah, membawa serta air mineral yang disiapkannya dalam botol. Dilihatnya sang Ayah yang sedang menyusun barang dagangan. Ayahnya itu sudah tua untuk pekerjaan berat begini. Sesekali terlihat kalau Wadi memegang pinggangnya setelah mengangkut barang.

"Coba aja kalau kamu masuk bisnis, bisa belajar buat ngembangin usahanya Ayah," celetuk Ana yang keluar dari rumah. Perempuan itu mengikuti arah pandang Gika, kemudian kembali melihat Gika yang masih melihat ayahnya.

"Enggak harus kuliah bisnis juga aku bisa aja bantuin Ayah," jawab Gika, kemudian menyecap kopinya.

"Selamanya bakalan jadi warung, dong?" tanya Ana retorik. "Aku tuh punya cita-cita kalau warung Ayah dibagusin, jadi kayak mini market gitu. Halaman kita kan luas, bisa dipake buat kedai minuman, buat orang duduk-duduk."

"Kenapa nggak Kakak aja yang ngembangin kalau gitu?"

Ana terdiam sejenak, kemudian melihat Gika yang menengadahkan kepala ke arahnya.

"Aku udah mau nikah," timpal Ana, langsung memalingkan wajahnya dari Gika.

Gika sedikit ternganga mendengar jawaban Ana. Kenapa dia baru tahu sekarang soal itu?

Tak menghiraukannya, Gika berkata, "Kalau nikah menghalangi orang buat berkembang, itu nggak akan dijadiin ibadah statusnya," kata Gika nyinyir, menyembunyikan rasa ingin tahunya.

"Sok tau!" kata Ana, mengapit hidung Gika dengan kedua jarinya. "Ih, berminyak. Jorok banget kamu, Gi. Kamu tuh udah gede. Belajar ngerawat diri. Pake, tuh, pelembap di kamar. Sabun cuci mukanya juga ada di sana."

Hanya hal-hal seperti ini yang membuat Ana jadi perhatian pada Gika. Selebihnya, Ana tidak mau tahu bahkan tak setuju. Akan hobi Gika, penampilan Gika yang sempat membuatnya terheran-heran, termasuk jurusan kuliah Gika yang masih saja dibahasnya seperti tadi.

Ana kembali ke dalam rumah, mengambil tas kerjanya serta sepatu bertumit setinggi 7cm yang langsung dipakainya. Botol minum sudah siap di tangannya, juga blazer yang ditentengnya di tangan yang sama. Ana menyalami Wadi yang kini sudah duduk kembali di dalam warung. Melewati Gika, perempuan itu keluar dari pagar rumah mereka. Tak lama, suara pintu mobil yang ditutup terdengar. Disusul deruan mesin mobil yang melaju.

Halogika | Pre-order (2) 21 Desember 2022Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang