Namanya Leo. Orang yang kusuka itu namanya Leo. Seperti namanya, dia kuat dan punya kharisma. Tapi tetap saja, sebagai bagian dari kelas ini, ia juga sama bobroknya dengan yang lain. Atau malah bisa dibilang, biangnya kebobrokan. Pusat kebobrokan. Terserahlah, intinya seperti itu.
"Miya, bapaknya kamu polisi, ya?"
Aku mengangkat satu alis. Menunggu kelanjutan gombalan basi Leo untuk hari ini. "Kenapa emang?"
"Soalnya kamu telah menilang hatiku. Eaaaaa~"
Kelas langsung riuh, bertepuk tangan tertawa dengan lelucon Leo yang sebenarnya garing, gak nyambung pula.
Aku tertawa kecil. "Berarti lo ngelanggar peraturan, makanya pake surat izin dong," aku menyahut asal.
"Surat izin mengemudi sih ada, tapi surat izin mencintaimu belum ada. Lalu harus dimanakah kakanda mencari wahai adinda?" Leo membalas lagi di depan kelas sambil memegang dada, pura-pura meratap. Mendramatisir keadaan.
"WADOHH."
"NANCAP."
"GAS TERUS MASNYA."
"KODE TEROSSS, GAS TEROSSS, NEMBAK ENGGA."
Melihat tingkahnya itu membuat kelasku semakin menggila lagi, dan makin lama suasananya malah semakin bobrok.
"Mi, balas dong, Mi."
"Ma, Mi, Ma, Mi pala lo kayang." semburku galak.
"Adinda Miya, dimohon untuk memberi kepastian pada Ananda Leo."
Aku melotot kecil. Davia dan Nila sudah menyorakiku sambil cekikikan.
"Kasih tau sama Leo, gombalnya dah basi. Laler kemaren aja gak mau nyentuh apalagi gue!" sahutku setengah berteriak, dengan wajah tersenyum puas.
Leo berteriak lagi. "PATAH HATI ABANG, DEK!"
Yeu, sianying.
Tapi tingkah kami berdua hari itu jadi hiburan di tengah stress dan suntuknya kami mengenai pelajaran di sekolah. Apalagi di masa-masa menuju persiapan ujian nasional.
Dan jangan menganggap kalau Leo hanya bersikap seperti itu padaku saja. Pada nyatanya, cowok tengil dan badung satu itu pintar merayu wanita. Hampir semua perempuan di kelas kami pernah jadi korban mulut berbisanya dan jadi korban php yang kesekian.
Waktu itu di jam kosong di hari classmeeting menyambut acara 17 agustus . Rio membawa gitar dari rumah dan memainkannya di kelas yang suasananya sudah seperti kapal pecah.
Ada yang sibuk dengan hp, ada yang keluar melihat pertandingan di halaman utama, ada yang di kelas sibuk nonton drama korea. Macam-macam.
Aku dan Nila waktu itu asik mengobrol dengan Davia. Kami membahas apa saja sebelum suara genjrengan gitar Rio merusak suasana.
"Elah woi, kalo mau belajar gitar tuh sini sama babah Leo. Ahlinya neh!" Leo datang lalu merebut gitar hitam di pangkuan Rio, membuat cowok mungil itu mencibir.
"Halah gak usah sok iye lo."
"Dih gak percaya si bambang, liat nih liat, LIAT!" Leo nyaut ngegas.
Dan Rio juga gak kalah ngegas. "IYA INI GUE LIAT ANJIR."
Mereka ini temenan atau nyari musuh sih?
"Ehem, ehem... dengerin nih!" Leo menarik napas, siap-siap memetik senar.
"Pergi saja engkau pergi darikuuuuuu... biar kubunuh perasaan untukmu, meski berat melangkah hatiku hanya tak siap terlukaaaa..."
"WADOH!"
"DALEM WOI."
"KODE KERAS ANJIR."
Kalau untuk urusan ngerusuh aja, kelasku emang paling numero uno.
"Beri kisah kita sedikit waktu," aku tiba-tiba ikut bernyanyi. Serius, aku melakukannya tanpa sadar. "Semesta mengirim dirimu untukku."
Leo tertawa kecil menatapku lalu tanpa dikomando kami menyanyikan bait selanjutnya di saat yang sama. "Kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah."
"ASEK DUET!"
"TARIK MANG."
"BENTAR WOI BENTAR KAPAL GUE BERLAYAR ANJER."
"GILA MIYA LEO!"
Sejak hari itu aku tahu, aku benar-benar menyukai Leo.
Haha, kenangan manis itu. Rasanya baru kemarin aku merasakan euforianya. []

KAMU SEDANG MEMBACA
Priority | √
Teen FictionSemua orang memiliki prioritasnya masing-masing. Dan dari sekian banyak kemungkinan, bisakah aku meminta seseorang di ujung sana menjadikanku sebagai prioritas dirinya juga? © Aemicasa, 2019.