03. Secret Admirer

29 6 2
                                    

Tahu tidak serunya menjadi pengagum rahasia dari orang yang kita suka?

Kita bisa menatapnya sepuas yang kita mau tanpa perlu diledek oleh orang lain. Percaya padaku, akan lebih menyenangkan kalau kamu menyimpan perasaan itu untukmu sendiri. Biar saja waktu berlalu, entah mendekatkanmu padanya atau malah menjauhkanmu.

"Lo semua lagi pada naksir orang gak, sih?" Nila membuka percakapan ketika kami bertiga --aku, Nila, dan Davia-- sedang makan di kantin pada saat jam istirahat.

Aku mengernyit pelan. "Kok tiba-tiba?"

"Gue ada, gue ada." Davia menyahut heboh. Pipinya langsung bersemu merah membuatku langsung usil menggodanya.

"Cie, pipinya merah, cie."

Nia juga ikutan meledek. "Waduh, siapa nih siapa, yang bisa bikin tuan putri lemot macam Davia jatuh cinta?"

Davia melotot kecil lalu memukul kedua lengan kami kesal.

Gak sakit sih, malah pukulan itu membuatku makin tertawa. "Davia udah gede, ya. Mainnya cowok sekarang, aduh mamah gak nyangka nak," ucapku mendramatisir.

Dalam sekejap kami bertiga sibuk menggoda Davia yang ternyata menyukai Revan. Cowok pendiam di kelas kami.

"Gila ih, ga nyangka gue ternyata tipe cowok lo tuh modelan Revan." Nila terkikik, masih menggoda Davia sambil memakan batagornya.

Davia mencebik. "Ya, emang kenapa sama Revan?" sahutnya sewot.

"Etdah, pawangnya marah. Sabar, Bu, sabar. Revannya gak bakal dimakan kok," ucapku ikut terkikik.

"Eh, eh, kalo Miya gimana? Lo lagi suka sama siapa?"

Aku terdiam sebentar. Padahal aku sibuk ikut menggoda Davia tadi agar Nila tidak bertanya padaku. Karena jujur, aku tidak ingin membaginya dengan siapapun. Bukan bermaksud jahat, hanya saja aku ingin menyimpannya untukku sendiri.

"Miya kan anak pinter, mana ada mikirin cowok gitu. Ya gak, Mi?" potong Davia membuatku terkekeh hambar.

"Iya, gak kepikiran gue. Lagian cewek yang mainnya sama buku mulu ini siapa yang bakal suka?"

Nila terdiam sebentar. "Hm, Leo?"

Aku melotot. "Gak mungkin!"

"Elah woi santai, Mi. Kenapa dah lo?" Nila membalas sewot.

"Ya abis lo ngomongin anak urakan gitu gimana gue gak kaget!" Aku menyahut, diam-diam berharap kedua temanku itu tidak curiga dengan reaksi berlebihanku tadi.

"Lah bener kan, di kelas kita tuh elo yang paling banyak dia jailin tau, terus nih ya kenapa coba Leo nyepik lo mulu?" Nila berkata dengan menggebu-gebu dan mata berbinar.

Aku mengibaskan tanganku tidak peduli. "Halah, emang kelakuannya dia gitu, kan. Nyepik mulu seriusnya engga."

"Setdah, bener juga si." Nila menimpali ucapanku.

Aku diam-diam bernapas lega. Aku tidak ingin orang lain tahu kalau aku menyukai Leo. Biar saja jadi rahasia kecilku sendiri. Lagipula mengaguminya diam-diam sudah cukup untukku.

Dan sebenarnya juga aku takut. Kalau Leo tahu perasaanku, pasti dia akan menjauh, kan? Pasti sikapnya tidak lagi sama.

Aku malah akan kehilangan sosok seorang teman karena perasaan ini.

Lagipula bukan saatnya aku mengurusi hal itu. Tugasku saat ini hanyalah belajar. Itulah yang jadi prioritasku.

"Nila mulai tadi ngepoin kita, tapi lo sendiri gak ada cerita. Ngaku dah lo, lagi suka siapa ha?" Kali ini Davia menyahut membuat Nila menyengir kecil.

"Gue lagi suka sama anak baru kelas sebelah ini."

"Hah?"

"Hah siapa? Siapa?"

Nila berdecak. "Itu loh, siapa sih namanya? Anak baru kelas IPA 2, Alfi bukan?"

"Lah kok nanya gue?" Davia menyahut sewot.

"Ya gue mastiin doang geblek, kirain lo tau." Nila balik ngegas.

Oke, mereka berdua memang hobi ngegas tanpa rem.

"Kenal darimana emang lo?" tanyaku dengan alis berkerut.

Nila langsung menatap kearahku dengan mata berbinar. "Dia dapet kontak gue dari temen gue di kelas sebelah terus dia ngechat gue, kita kenalan deh. Ya kek orang pedekate gitu lah."

"Mainstream amat njir."

"Suka-suka gue lah. Sirik aja lo."

Sebenarnya aku ingin memberikan pendapatku, tapi karena tidak diminta jadi aku memilih diam saja. Bagiku, tindakan cowok yang Nila suka itu sedikit pengecut tidak, sih?

Bukannya apa, kalau dia benar-benar menyukai Nila harusnya ia menemui langsung cewek itu. Menyatakan ingin berkenalan langsung dan meminta kontak padanya langsung, bukan pada orang lain. Singkatnya, to the point. Jangan minta perantara orang lain untuk memperjuangkan cintamu.

Gila. Aku berbicara seperti ini seolah hubungan percintaanku sidah sempurna saja.

Biarlah, aku harap hubungan Nila dengan cowok itu berjalan baik. []

Priority | √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang