Siapa bilang hidup seseorang itu bisa selalu bahagia?
Aku.
Walau terdengar naif, tapi aku mempercayainya. Terlebih saat melihat Leo. Kamu pasti akan berpikiran sama saat melihatnya. Ia seperti tidak pernah merasakan sedih.
Apapun masalahnya, seperti enteng saja untuknya. Ia bahkan masih bisa tertawa-tawa lepas.
Anak badung itu. Dia selalu saja terlihat seperti remaja yang selalu bahagia.
Aku tidak mengerti meski tidak ada yang menyuruhku untuk mengerti.
Eksistensi Leo itu susah untuk dienyahkan dalam kepalaku. Sial sekali.
Hingga hari itu datang, hari di mana aku bertanya-tanya mengapa harus aku yang menemukan hal itu darinya.
Aku tidak begitu mengingat hari, tapi aku ingat hari itu hujan deras sedari pagi. Kelasku masih sepi meski jam sudah menunjukkan pukul setengah 8. 15 menit lagi bel masuk juga akan berbunyi, tapi yang sudah datang masih bisa dihitung jari.
"Miyaa, lo bisa bantuin gue gak?" Adam yang sedang membawa tumpukan buku menoleh padaku, meminta bantuan.
Aku mengangkat alis sambil mendatanginya. "Kenapa?"
"Tolong anter ini ke ruang guru, bisa? Gue mau hubungin anak-anak yang lain mereka lagi di mana belum dateng semua jam segini."
Aku mengangguk kecil. "Yaudah, sini. Taroh di mana?"
"Makasih, Mi. Di mejanya Bu Indah, ya."
"Oke."
Jarak antara kelasku dan ruang guru tidak begitu jauh. Hanya saja harus melewati gedung olahraga, sehingga agak sedikit ... yah, kurang nyaman. Apalagi di jam-jam segini orang kelewat rajin mana yang memakai gedung olahraga? Tempatnya begitu sepi, dan jarang terpakai juga.
Aku bergidik ketika melewati bangunan itu, takut-takut ada asap putih lewat di depanku lalu berubah menjadi jin jahat yang suka memakan manusia. Astaga Miya, pikiranmu melantur kemana sih?
Kenapa pula kamu tadi melihat ada asap putih dari dalam gedung olahraga?
T-tunggu. Apa ku bilang tadi? Asap putih?
Aku langsung berjalan pelan menuju pintu gedung olahraga yang entah kenapa tidak terkunci dan terbuka sedikit. Aneh, biasanya gedung olahraga selalu terkunci.
Mendorong pintunya sepelan mungkin, aku memasuki ruangan luas itu tanpa suara. Irisku langsung melebar kala melihat Leo duduk di atas matras, dengan rambut acak-acakan, baju seragam yang dikeluarkan ---tidak, itu masih wajar. Penampilan Leo memang kadang seurakan itu--- tapi kali ini ... Leo membawa rokok ke sekolah?
Aku tahu Leo nakal. Tapi ia tidak pernah menyentuh barang seperti itu. Aku yakin sekali. Lalu sekarang ada apa? Kenapa dengan Leo?
"Le?" panggilku tak percaya.
Ia menoleh padaku sebentar lalu kembali melengos tak peduli. Mengisap kembali dalam-dalam batang bernikotin itu.
Aku menaruh tumpukan buku yang diberikan Adam tadi pada salah satu meja terdekat. Geram, aku mendatangi Leo lalu menarik kerahnya.
"Ngapain lo? Siapa suruh lo nyentuh barang gituan? DIAJARIN SIAPA LO, HAH?!" teriakku emosi.
Leo hanya menatapku malas. Dengan mudah ia melepaskan cengkeraman tanganku di kerahnya. "Pergi, Mi. Anggap aja lo gak ngeliat gue."
"Mana bisa gitu!" Aku menyambar. Mataku seketika memanas melihat Leo seperti ini. Wajah tengilnya yang biasa membuat kami tertawa itu tak ada lagi. "Lo temen gue, gue gak bisa biarin temen gue ngelakuin hal yang salah dan-"
"KARENA LO GAK NGERTI!" Leo berteriak emosi dengan mata memerah menatapku. "Karena lo bukan gue, lo gak bakal ngerti. Jadi pergi, Mi. Biarin gue."
Bodohnya aku. Air mata sialan ini malah langsung menetes saat melihat Leo berbalik dan berjalan menjauhiku.
Aku terisak pelan.
"KARENA GUE SUKA SAMA LO, LE!" Aku berteriak sekeras yang kubisa agar ia bisa mendengar.
Seperti yang kuduga, langkah Leo langsung terhenti.
Aku menarik napas lalu kembali berucap, "karena gue suka sama lo, makanya gue gak bisa biarin lo gini. Kenapa, Le? Lo bisa cerita apapun masalah lo ke gue."
Hening sejenak.
Aku mengepalkan tanganku erat. Tidak pernah terbayangkan akan jadi seperti ini, rahasia yang kusimpan mati-matian malah aku sendiri yang membongkarnya di hadapan orangnya sendiri. Gila. Miya memang sudah gila.
Baru saja aku ingin kembali berkata, Leo lebih dulu memotong.
"Gue gak pantes buat lo, Mi. Tolong lupain gue."
Lalu Leo benar-benar pergi.
Meninggalkan aku yang terisak hebat setelahnya. []
![](https://img.wattpad.com/cover/196594901-288-k222560.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Priority | √
JugendliteraturSemua orang memiliki prioritasnya masing-masing. Dan dari sekian banyak kemungkinan, bisakah aku meminta seseorang di ujung sana menjadikanku sebagai prioritas dirinya juga? © Aemicasa, 2019.