Halo, kita sudah sampai di penghujung kisah ini. Kuharap kamu tidak tertidur dan masih menunggu bagaimana kisah ini akan berakhir.
Tidak begitu lama berlalu sejak kejadian itu, mungkin baru sekitar 2 tahun? Yah, anggap saja begitu. Soalnya aku tidak terlalu menghitung waktu.
Aku lulus dengan nilai yang cukup memuaskan setelahnya, diterima di jurusan yang menjadi impianku sejak lama. Semuanya berjalan sebagaimana seharusnya, kurasa. Walau di sudut hatiku masih ada kosong yang benar-benar terasa. Kosong yang disebabkan oleh seseorang.
Lalu untuk kabar Leo, aku tidak begitu sering berkomunikasi dengannya sejak kejadian itu, atau perlu dibilang kami tidak pernah berbicara lagi. Tapi kudengar, ia diterima di salah satu sekolah tinggi ikatan dinas.
Mengagumkan.
Aku tahu Leo itu pintar, hanya saja ia terlalu usil dan tengil yang menutupi otak cerdasnya itu.
"Udah mau pulang, Mi?" Rani, teman yang kukenal sejak masuk kuliah itu memang termasuk yang paling dekat denganku sampai sekarang.
Aku menoleh, lalu mengangguk singkat dengan seulas senyuman tipis.
"Iya nih, gak ada kelas lagi gue. Kenapa emang?" sahutku sambil menyalakan ponsel yang sengaja kumatikan sejak kelas dimulai tadi.
Kelasku baru saja selesai, aku tidak memiliki jadwal lain setelah ini di kampus jadi aku berniat untuk langsung pulang saja.
"Gue ada janji sama temen gue nih. Lo mau nemenin gue, gak?"
"Kemana?"
"Gak jauh. Ke tongkrongan biasa dekat kampus aja kok.
Aku menimbang sebentar ajakan Rani lalu mengangguk, bersamaan dengan wajah Rani yang langsung berbinar.
Anak itu lagi mau kencan buta, ya?
Senang banget kayaknya.
Kami langsung menuju tempat janjian Rani dan temannya itu. Lokasinya tidak begitu jauh dari kampus, seperti yang Rani katakan, dan yang ku tahu, tempat ini memang jadi tempat tongkrongan hits anak kampusku. Aku jarang ke sini, biasanya setelah kelas atau kegiatan lain selesai aku langsung pulang ke rumah.
"Emang lo mau ketemu siapa sih?" Aku bertanya saat kami sudah selesai memesan makanan.
"Hm?" Rani bergumam singkat dengan pandangan yang fokus pada layar ponsel.
Ck, dia yang ngajakin, dia juga yang ngacangin aku. Maunya apa coba?
"Plis deh, jangan bikin gue ngumpat di sini," sahutku jengah.
Rani terkekeh singkat lalu menaruh ponselnya. "Gue ketemu teman lama. Sebelumnya kita udah kontak-kontakan sih, tapi ya gitu. Baru kali ini ketemu langsung lagi. Jadi biar ga awkward gue ngajakin lo." Belum sempat aku melayangkan protes, Rani langsung buru-buru menambahkan. "Eh tapi dia juga ngajak temennya kok."
Aku menggeleng pasrah. Ya sudahlah, apa boleh buat.
Dasar Rani, memang dia kira aku mudah berbaur dengan orang baru gitu?
Biarpun temannya bawa orang lain juga, belum tentu obrolanku dengannya nyambung.
Baru saja aku ingin menyahut ucapan Rani, sebuah suara langsung menginterupsiku. "Hai, Ran. Udah nunggu lama?"
Aku langsung menoleh lalu mendapati Leo berdiri di belakang orang yang barusan berbicara tadi.
Iya, Leo. Leo yang itu.
Okay, baik. Ini bukan drama kacangan, kan?
Tidak akan ada adegan seperti di film. Jadi mari bersikap biasa saja dan tidak mendramatisir keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Priority | √
Teen FictionSemua orang memiliki prioritasnya masing-masing. Dan dari sekian banyak kemungkinan, bisakah aku meminta seseorang di ujung sana menjadikanku sebagai prioritas dirinya juga? © Aemicasa, 2019.