Tanpa Peta dan GPS

16 2 1
                                    

Lepas pendidikan dasar survival kemarin, kami—segerombolan anak manusia yang haus akan pengalaman dan pengakuan—dengan ceroboh menerobos masuk salah satu gunung di Pegunungan Meratus. Selama tiga hari kami mengembara. Eksplorasi hutan gunung. Melihat wahana alam serta ekosistemnya. Berharap setelah keluar dari sini akan dapat penghargaan dari kawan-kawan mapala.

Namun sebenarnya itu adalah tindakan bodoh. Mengejar eksistensi dibumbui dengan kemampuan minim. Minim pengalaman hanya bermodalkan pengetahuan saat DIKSAR—Pendidikan Dasar. Ibarat pohon, pengetahuan kami hanya seperti pucuk, baru saja tumbuh dua hari yang lalu. Mudah dikunyah bahkan oleh ulat sekalipun.

Tidak memiliki GPS, bahkan peta pun tidak. Itulah ego dan cerobohnya. Kenapa bisa? Memang sebenarnya kami sudah mempelajari peta gunung ini saat di basecamp. Dan rencananya memang ingin menggunakan GPS saja, lebih praktis alasannya. Namun ketika kami sampai di titik dimana kami mulai berjalan kaki. Temanku baru saja sadar bahwa GPS itu tertinggal di basecamp.

Kami bimbang. Jarak basecamp dari titik tersebut sangatlah jauh. Tidak ingin persiapan selama satu minggu kemarin sia-sia belaka. Seseorang dari kami meyakinkan bahwa kami masih bisa melanjutkan perjalanan. Meski tanpa peta dan GPS. Katanya karena hanya puncak saja yang dicari, maka kami hanya perlu melihat dan menuju tempat yang tinggi saja. Untuk awal perjalanan, kami mencari sungai lalu menuju ke hulunya.

Sempat terlintas untuk kembali balik ke basecamp. Takut dianggap bodoh. Dan tidak ingin menjadi bahan ejekan. Akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Bermodalkan kebodohan. Ironi sekali.

Dengan kebodohan ini kami lanjutkan perjalanan. Lima orang saja. Laki-laki semua. Logistik, perlengkapan semua lengkap. Itulah yang membuat kami berani untuk melanjutkan. Selama satu hari penuh kami tempuh perjalanan. Menyusuri sisi sungai berarus deras. Menuju ke hulu. Puncak memang sudah terlihat. Tapi masih terlalu jauh. Kira-kira masih satu kilometer. Hari mulai gelap. Arlojiku menunjukkan pukul tujuh belas lewat. Kami putuskan untuk menginap. Cari tanah sedikit lapang lalu buka tenda.

Sebagian mencari kayu dan sebagian menyiapkan bahan makanan. Sejak tadi siang hanya air dan sedikit roti saja mengisi perut kami. Seperti biasa naluri bertahan hidup anak rantauan. Sehingga seluruh organ tubuh pun harus mengikuti. Lapar, memang lapar. Hemat adalah kunci bertahan dari lapar.

Kontestasi PuncakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang