Bulan memang sedang bersinar namun tidak begitu terang. Tubuhnya pun sebagian hilang. Bintang-bintang juga hanya ada beberapa. Lebih banyak gumpalan awan sepertinya. Udara memang sedikit padat. Tapi ini malamku. Aku bebas di sini. Bebaskan diri dari segala kekacauan. Apapun itu, aku anggap kacau.
Terletak lebih dari lima puluh kilometer dari kota sempit itu. Masuk sejauh dua kilometer dimulai dari kampung terakhir. Itu saja yang aku ingat. Aku sebut ini Tirai Ketenangan. Nama yang baru saja kutemukan. Untuk sebuah air terjun di samping lereng gunung. Dengan sisi yang menyiapkan tempat untuk memandang langit dan di sisi lain menyiapkan tempat untuk berteduh.
Memang hanya sebatas pepohonan rindang. Tapi ruang terbuka ini tepat berada di samping deru air yang jatuh. Tempat yang nyaman untukku gelar matras hitam kotorku. Dan tenda merah marun teman sejati. Serta beberapa solusi masalah perut di dalamnya.
Di sini jauh dari keramaian urban. Ponsel, mobil, motor, asap, macet, ribut dan kacau. Egois, arogan, serakah, serampangan dan barbar. Apapun itu tidak ada di sini selain kedamaian, ketenangan, kesunyian dan kesendirian.
Sudah dua jam aku berbaring di sini. Memandangi langit yang memang tidak berbintang banyak. Sesekali mengingat kembali perjalanan itu. Dan aku hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontestasi Puncak
Historia CortaPerjalananku untuk menemukan puncak. Menembus belantara, menyusuri sungai, memakan mie instan tanpa dimasak hinnga menemukan tempat terindah.