Tirai Ketenangan

14 1 4
                                    

Aku tiba di sebuah air terjun. Air sungai ini dengan derasnya turun melewati bebatuan cadas. Dengan memegang sebuah batang pohon yang kuanggap kokoh aku beranikan diri untuk menengok ke bawah. Kira-kira lima belas meter saja. Kucoba melihat sekitar untuk mencari celah agar bisa menuruninya dengan aman.

Meski sedikit susah dan licin, aku berhasil sampai ke bawah. Kuputuskan untuk istirahat sebentar. Letakkan ransel, keluarkan botol minum. Lalu duduk di salah satu batu yang cukup untuk disebut besar.

Ternyata hari sudah mulai temaram, senja sudah datang. Dan aku tidak melihat adanya tanda-tanda bekas manusia pernah beraktivitas di sini. Jalan setapak, sampah-sampah kecil. Atau tulisan vandal cinta anak muda. Tempat ini indah namun tak terjamah.

Aku berbaring di atas batu ini. Coba memikirkan langkah selanjutnya. Terlalu beresiko untuk melanjutkan di malam hari. Mungkin sebaiknya aku lanjutkan besok saja. Toh, logistikku masih cukup. Masih ada tiga bungkus mie instan yang bisa kumakan tanpa dimasak.

Aku coba buka kembali isi ransel, tenda dan matras itu aku keluarkan lagi. Aku pilih tempat tepat di seberang sana. Lapang dan datar. Tempat yang cocok untuk menginap. Habiskan lelah yang gerogoti tubuh.

Usai menyantap makanan tak dimasak aku putuskan saja menggelar matras ini di luar tenda. Siapa tahu letih ini bisa lebih ringan lagi. Suasananya cukup mendukung. Lebih mudah dinikmati. Lebih tenang.

Malam telah tiba, kegelapan masuk begitu cepat. Perut sudah kuisi. Aku hanya perlu berpikir lagi. Memikirkan permasalahan lama. Kadang permasalahan itu sangat sulit menemukan jalan keluarnya. Atau sebenarnya hanya perlu dinikmati saja. Tidak perlu bersusah-susah mencari jalannya.

Pikiranku larut kian jauh. Mengembara dalam sadar. Berputar-putar kadang ceritanya terulang lagi. Kadang terkekeh sendiri ketika memikirkannya. Sebut saja kekasih. Kekasih adalah sebuah kata ganti untuk orang yang akan membebani pundak. Permainan cinta yang buruk, penuh drama. Terlalu sering terikat dengan pikiran orang-orang yang tidak tahu asal-usulnya. Perjanjian kesetiaan dan negosiasi perbuatan. Atau puisi-puisi gombalan murahan. Surut dan kering estetika.

Namun aku perlu itu. Terlalu naif jika aku tidak mengakuinya. Percintaan itu aku butuhkan. Meskipun kadang aku abaikan. Entah itu hasrat atau kebutuhan, aku belum menemukan jawabannya.

Atau Keributan kota yang memang menggelikan. Saling berebut. Apapun itu. Terlebih jika ujungnya uang. Tidak ada yang mengalah. Saling baku hantam. Terlihat jelas saja mulai dari pedagang sayuran pagi atau suara politisi cemen, semuanya berteriak-teriak. Siang malam. Tak berhenti. Hingga tak pernah sadar bahwa mereka telah keruk kering kantung dompet kita. Tertipu.

Tapi kini aku sadar. Tempat ini sungguh menarik. Air terjun, tanah lapang, batuan, pohon-pohon dan orkestra alam yang merdu. Menghipnotis diri lalu larut dalam buaian ketenangan. Aku putuskan untuk menamakan tempat ini dengan Tirai Ketenangan. Aku pun larut di dalamnya. Tenggelam dalam sunyinya.

"Ahhhhh....." aku merintih. Seekor ular tiba-tiba saja menggigit perutku. Aku tangkap kepalanya lalu aku lemparkan jauh-jauh. Ular itu terbang melewati pepohonan dan hilang ditelan gelap.

Segera aku buka bajuku. Headlamp kunyalakan. Dua lubang kecil, sedikit berdarah, darahnya bercampur cairan bening. Aku tahu itu. Ular itu berbisa. Sial! Tepat di bawah rusuk samping kiri. Tak banyak yang dapat kulakukan. Semakin bergerak, darah ku semakin mengental. Lebih baik diam saja.

Mungkin inilah akhirnya. Pikiran-pikiran membosankan tentang kota. Kisah percintaan penuh drama. Serta kisah seorang malang yang tersesat.

Tidak, aku tidak malang. Lihatlah, Tuhan berikan alam yang indah ini sebagai tempat terakhirku. Tidak banyak yang seberuntung diriku. Mereka atau siapapun itu. Ujung hidupnya hanya di lingkaran tali tambang akibat hutang. Atau sekian gram bubuk metafitamine.

Lebih baik aku nikmati saja akhir ini. Dingin yang mulai menusuk. Nyamuk-nyamuk yang riang berterbangan. Air yang yang tidak bosan berirama. Dan bulan, bulan terlihat malam ini.

Bulan memang sedang bersinar namun tidak begitu terang. Tubuhnya pun sebagian hilang. Bintang-bintang juga hanya ada beberapa. Lebih banyak gumpalan awan sepertinya. Udara memang sedikit padat. Tapi ini malamku. Aku bebas di sini. Bebaskan diri dari segala kekacauan. Apapun itu, aku anggap kacau.

Terletak lebih dari lima puluh kilometer dari kota sempit itu. Masuk sejauh dua kilometer dimulai dari kampung terakhir. Itu saja yang aku ingat. Aku sebut ini Tirai Ketenangan. Nama yang baru saja kutemukan. Untuk sebuah air terjun di samping lereng gunung. Dengan sisi yang menyiapkan tempat untuk memandang langit dan di sisi lain menyiapkan tempat untuk berteduh.

Memang hanya sebatas pepohonan rindang. Tapi ruang terbuka ini tepat berada di samping deru air yang jatuh. Tempat yang nyaman untukku gelar matras hitam kotorku. Dan tenda merah marun teman sejati. Serta beberapa solusi masalah perut di dalamnya.

Di sini jauh dari keramaian urban. Ponsel, mobil, motor, asap, macet, ribut dan kacau. Egois, arogan, serakah, serampangan dan barbar. Apapun itu tidak ada di sini selain kedamaian, ketenangan, kesunyian dan kesendirian.

Sudah dua jam aku berbaring di sini. Memandangi langit yang memang tidak berbintang banyak. Sesekali mengingat kembali perjalanan itu. Dan aku hilang.

Kontestasi PuncakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang