Filosopi Puncak

9 2 0
                                    


Tidak banyak bicara memang. Sepanjang perjalanan kami sibuk dengan pikiran masing-masing atau memang fokus terhadap medan yang menghadang. Hanya kata-kata kecil atau candaan ringan menyela. Lalu diam lagi.

Usai makan tadi malam. Kami berbicara sebentar. Menyeruput kopi panas. Menghisap dalam-dalam tembakau gulung bermerek. Tak lama. Hanya sebentar. Kami putuskan untuk tidur. Tak ada yang berjaga.

Pukul sembilan pagi kami lanjutkan perjalanan. Setelah selesai merapikan kembali barang-barang bawaan. Kami melangkah lagi. Posisiku paling belakang. Kadang tertinggal beberapa meter dari teman di depan. Kali ini kami memutuskan untuk memotong jalur. Tidak lagi menyusuri sisi sungai. Menembus hutan menuju puncak.

Heran memang kalau dipikir-pikir. Hobi mendaki ini adalah hobi yang penuh filosopi sebenarnya. Seperti halnya kehidupan. Rela bersusah-susah untuk mendapatkan puncak. Sebenarnya puncak itu hanya kebahagian visual. Itupun kalau memang pemandangannya indah. Kalau tidak, pengalaman dalam menapaki setiap langkahlah yang menghibur diri. Menaklukkan ego. Motivasi keinginan. Sejauh mana pengendalian diri. Setelah puncak tercapai. Hanya kebanggaan pribadi. Bukan kemenangan universal. Tapi itu nikmat. Nikmat yang tak pernah dijelaskan dalam buku-buku kertas. Dan nikmat itu tidak pernah bisa dibandingkan dengan nikmat yang orang lain miliki. Jadi buat apa foto-foto itu dipajang dalam media sosial lebih baik dalam kamar sendiri. Sendiri saja.

Akhirnya aku sadar. Teman-temanku sudah jauh di depan sana. Aku tidak dapat berlari. Karena tanjakan ini cukup curam dan berakar. Ransel yang kubawa juga masih berat. Dan celakanya aku ingin buang air. Aku harus berhenti dan mencari sela pohon untuk aku kencingi.

Kini aku siap lanjutkan perjalanan. Tapi ada masalah besar di sini. Teman-temanku tak terlihat lagi. Aku berteriak. Sekeras mungkin. Tak ada sahutan. Kupercepat langkah agar tersusul. Kurasa mereka main-main denganku. Bukan takut. Hanya saja ranselku ini lebih banyak memuat bahan makanan. Dan ransel mereka hanya sebagian kecil saja. Roti sisa kemarin dan air di botol masing-masing. Kalau aku tersesat, aku tidak akan risau. Aku masih bisa bertahan berhari-hari.

Sudah satu jam. Tidak juga kutemukan mereka. Aku merasa jalan yang kutempuh adalah jalan yang sama dengan jalan yang telah mereka lalui. Karena aku melihat ada lecet bekas sepatu pada akar-akar pohon itu. Aku berhenti. Kuputuskan untuk menunggu mereka di sini saja. Berharap mereka sadar aku tidak lagi ada di barisan dan kembali mencari.

Kulihat matahari sudah mulai turun. Arlojiku menunjukkan pukul empat belas lewat beberapa menit. Aku pikir aku harus turun kembali ke tempat kami menginap tadi malam. Karena di sanalah titik kami memulai perjalanan hari ini. Dan kali ini tujuanku bukanlah puncak, melainkan bertemu mereka. Jarak dari titik dimana kami terpisah tadi sangatlah jauh dengan kampung terdekat. Logistik mereka tidak akan mampu bertahan lebih dari satu hari. Aku harus turun.

Kini aku sudah di tepi sungai. Kurasa aku terlalu cepat menemukan sungai ini. Tidak sampai satu jam. Mungkin kerena jalur ini menurun. Jalanku semakin cepat. Mungkin itu alasan yang jelas.

Kini masalah semakin besar. Aku tidak menemukan tempat dimana kami menginap tadi malam. Sudah kususuri sisi sungai ini menuju ke hilir. Tak ada pemandangan seperti saat aku bangun tadi pagi. Kini tidak ada waktu lagi untuk aku kembali ke hulu. Hari sudah sangat sore. Sekitar satu jam setengah sudah aku berjalan sejak bertemu dengan sungai tadi. Terlalu gelap jika kupaksakan untuk kembali ke hulu sungai ini.

Entah mereka sadar atau tidak bahwa aku telah terpisah. Sedang mencari atau tidak mencari. Yang pastinya kini aku yang tersesat. Karena aku rasa sungai ini bukanlah yang pernah kami lalui kemarin. Kemarin sungai itu sangat berbatu sedangkan yang ini tidak terlalu banyak batu di dalamnya. Aku yakin kini aku tersesat.

Aku putuskan mencari tempat untuk beristirahat. Sudah cukup lelah. Mungkin karena kepala ini terlalu dipacu. Sebab sedikit saja salah perhitungan bisa berantakan. Dan memang sudah berantakan. Aku terlalu lelah.

Aku rasa sebaiknya aku istirahat malam ini di sini sendiri. Biar besok pagi-pagi sekali aku harus segera turun. Ini masih terlalu jauh. Dan yang pasti aku tidak tahu ujung sungai ini.

Kontestasi PuncakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang