Hari Pertama Ujian

13 2 2
                                    

Bab 1
🐚🐚🐚

     Hari pertama UNBK terlewati dengan tidak sempurna setidaknya itu yang bisa di deskripsikan Manda saat ia hanya bisa menjawab beberapa butir pertanyaan yang dianggapnya benar selebihnya hanya mengandalkan jurus tembak menembak. Kelopak matanya tertutup dengan tangan terlipat di atas bangku, pikirannya berkelana pada rumah yang saat ini ia bayangkan begitu angkernya, tatapan bengis ayah, omelan ibu, dan desisan kakak-kakaknya yang kadang tak lebih berperasaan dari netizen.
Manda kembali mengingat hal-hal terakhir ini yang membuatnya tidak konsen belajar, mengerjakan soal dengan berantakan, semuanya menjadi tidak benar. Impian ayah agar Manda bisa masuk di sekolah yang sama dengan kedua kakak cowoknya membuat Manda semakin tertekan mengingat bagaimana Sulitnya masuk SMA ANGKASA. Nem yang harus 7 ke atas, tes yang harus dijalani dan proses lainnya yang pasti akan sangat memakan pikiran dan tenaga. Memikirkannya saja membuat separuh kewarasan Manda menghilang, entahlah ia tak begitu mengerti mengapa sejak kecil ia di doktrin untuk belajar sangat keras? Nyatanya sampai detik ini ia tak pernah menemukan kesenangan dalam proses belajar itu, ia justru lebih banyak tertekan. Bingung kemana sebenarnya ia harus melangkah, apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidup ini? Apakah benar seperti yang ayah bilang bahwa ia akan menjadi seorang dokter ahli bedah? Percayalah membayangkan harus mengoperasi orang saja membuat Manda ingin muntah, ia tidak tahan melihat darah apalagi bau anyirnya yang mengoyak seisi perut. Tapi apa yang harus ia lakukan sekarang jika dalam tempurung kepalanya saja tak muncul bayangan apapun tentang masa depannya? Bodoh! Memang. Bahkan untuk memahami diri sendiri dan keinginannya saja Manda tidak bisa.

"Man," seseorang datang menepuk punggung Manda beberapa kali, Manda tidak lekas mengubah posisinya, gadis itu berusaha menenangkan pikirannya yang kacau yang entah sejak kapan membuat air matanya menetes membuat basah lengan.

"Man," lagi, panggilan dari suara yang sangat Manda kenali. Fitri, tentu saja. Siapa lagi yang akan menegurnya selain teman sebangkunya itu.

Setelah selesai menghilangkan jejak air mata, Manda mengangkat kepalanya ia menatap kaca di jendela di pinggirnya untuk memastikan memang tak ada sisa air mata di sana.

"Kenapa, Fit?" tanya Manda, memasang senyum menatap Fitri.

"Pertanyaan itu lebih pantas diajuain ke elo," desis Fitri terdengar sinis, bola mata besarnya mengerling malas menjauhi tatapan Manda.

"Tadi gue berusaha tidur buat nenangin otak," cicit Manda mencari penjelasan paling masuk akal.

"Tapi lo nggak berhasil, kan?"

Tepat! Manda mengulum senyum dalam hati betapa pengertian dan peka sekali gadis di depannya ini.

"Lo kenapa masih belum balik si, Fit?" tanya Manda berusaha mengalihkan pembicaraan tapi tatapan tajam itu menghunus rencana Manda untuk mengusir sahabatnya itu dari sini.

"Gue mau balik tapi ternyata ada orang yang lagi sekarat di sini," Fitri mengedikkan bahunya acuh tapi Manda cukup sadar dengan sindiran tersembunyi itu, dasar bocah.

"Gue mau balik duluan aja kalo gitu," Manda meraih tas punggung berwarna coklatnya dari laci meja. "Gue harus belajar, sorry ya." pamit Manda yang lagi-lagi hanya mendapat perlakuan tidak normal Fitri.

🐚🐚🐚

    Langkah Manda tertahan di depan pagar rumah, tatapannya meneliti setiap inci rumah berwarna putih di depannya. Tegukan ludah terasa sedikit berat baginya, menghela nafas tangan Manda terangkat untuk mendorong pintu pagar berwarna hitam sebatas kepalanya itu.

Rasa ragu menyeruak dalam benaknya, tangan itu gemetar saat ia menutup kembali pagar rumah. Pelan, Manda melangkahkan kakinya dengan jemari yang saling bertautan. Rasa gugup membuat Manda ingin sekali pulang ke bogor sekarang, ia ingin kabur tapi tidak bisa.

"Manda,"

Astagfirullah.

Mata Manda tertutup rapat mendengar suara yang memanggil namanya, dapat dipastikan bahwa itu adalah ibu.

"Manda," Ibu meraih bahu Manda membuat gadis itu menghadap ke arahnya.

Seketika Manda membuka matanya, dengan rasa takut yang masih mendominasi cewek itu memaksa senyum terbit di wajahnya.

"Kamu baru pulang?"

"I... Iya," jawab Manda gugup, cewek itu semakin meremas jemarinya sendiri.

"Apa ada masalah?" Ibu bisa melihat keanehan gelagat Manda.

Manda menggeleng lemah, "Ehm, aku mau ke kamar dulu." ucap Manda cepat-cepat masuk ke dalam rumah, ia tidak bisa berlama-lama berhadapan dengan ibu. Pertama ia harus menyiapkan beragam alasan saat ayah nanti pulang menanyakan tentang ujiannya.

Tentu saja Manda tidak bisa berbohong meski ia ingin. Cewek itu merebahkan tubuhnya di atas kasur begitu sampai di dalam kamar. Memejamkan mata, sekejap otaknya sudah dipenuhi oleh bayangan ayah, ibu, kedua kakaknya dan ucapan-ucapan yang mereka katakan tentang impian Manda. Ralat, impian mereka. Karena sampai detik ini Manda tidak tahu apa impiannya.

Rasa sakit tak tertahan kan membuat air mata Manda meleleh, sesuatu itu terus menghujam hatinya seperti berlati. Manda lelah ada keinginan dalam dirinya untuk menyerah, membuat hidupnya normal seperti orang lain.

"Man,"

Suara itu membuat Manda terkejut, matanya membelalak. Secepat kilat cewek itu bangkit dari posisinya. Menyeka air mata dan mengambil tas yang ada di sampingnya. Cewek itu menggantung tasnya pada paku yang tertancap di dinding dekat meja belajar. Begitu terdengar pintu terbuka, Manda menolehkan kepalanya.

Senyum melengkung indah di wajah tampan itu, Adit melangkah mendekati Manda.

"Nih, gue bawain sesuatu buat lo." tangan Adit terulur dengan sebuah kertas ke hadapan Manda.

"Apaan nih Kak?" Manda mengambilnya dengan kening berkerut.

"Daftar ekskul di ANGKASA," jawab Adit yang mendudukkan dirinya di kursi belajar Manda.

"Lo harus persiapin itu dari sekarang, siswa baru wajib ikut ekskul." senyum masih bertahta di wajah kakak keduanya itu membuat Manda tidak nyaman

"Kalo gue saranin, lo masuk aja jadi anggota pmr supaya lo terbiasa dengan obat-obatan dan pasien. Tenang aja gue punya kenalan di sana."

Manda menaruh kertas itu di atas meja belajarnya, tatapan lesu ia layangkan pada Adit.

"Kakak bicara seolah aku akan diterima di sana."

Senyum di wajah Adit memudar, tatapannya fokus membidik netra coklat itu yang terus menghindar.

"Lo nggak ada niatan buat bikin kecewa papah, kan?"

🐚🐚🐚

AmandaWhere stories live. Discover now