Maaf

3 1 1
                                    

BAB 10
🐚🐚🐚


Mematut dirinya di cermin, kembali tangan Manda memoles bedak di bawah kelopak matanya, lingkaran hitam itu tidak boleh ada satupun orang yang boleh melihat matanya yang sudah seperti mata panda.

Berbeda dari biasanya hari ini Manda tidak memakai seragam melainkan baju santai biasa, ia mengambil tasnya kemudian keluar dari kamar.

"Manda,"

Langkah Manda yang hendak menuju dapur kini berbelok ke ruang tamu, lelaki berkumis tebal itu sedang menunggunya dengan sorot yang... Entahlah. Tak bisa Manda deskripsikan.

"Iya, Yah?" Manda berdiri dengan kedua tangan menyatu dan kepala menunduk.

"Ayo duduk bersama Ayah." Ayah menepuk sofa di sampingnya yang langsung dituruti oleh Manda.

"Kamu akan les?" Manda mengangguk. "Kenapa bersikap seperti itu? Takut?"

Manda mendongakkan kepalanya, menatap Ayah dengan gelengan pelan.

"Kalo kamu mau istirahat hari ini tidak perlu masuk les dulu, besok saja. Ayah lihat kamu semakin kurusan?"

"Tapi, Yah ...."

"Tidak ada Ayah yang jahat di dunia ini, Manda. Yang mereka inginkan hanya yang terbaik untuk anak-anaknya."

Manda tersenyum melihat Ayah yang tersenyum, merasakan usapan lembut pada puncak kepalanya. Inilah yang selalu Manda dambakan, perhatian, pengertian, Manda tersenyum semakin lebar. Terbesit sesuatu dalam benaknya yang ingin sekali ia tanyakan tapi ia ragu.

"Kamu mau mengatakan sesuatu?"

"Ehm...." Manda menundukkan kepanya kembali, kebimbangan melanda membuatnya gugup.

"A... ayah."

"Ehm?" Ayah menunggu dengan sabar Manda menyelesaikan ucapannya.

"Boleh Manda tahu alasan Ayah melarang kita mengunjungi makam nenek?" tanya Manda dengan satu tarikan nafas. Cewek itu menatap Ayah yang air mukanya berubah seketika begitu mendengar kata 'nenek'.

"Sudahlah, itu tidak penting." Ayah meraih kembali korannya dari atas meja.

"Ini penting, Yah." seru Manda, melupakan ketakutannya saat berbicara dengan Ayah. "Gimana kalo ternyata ada seseorang yang ngincer kita dan itu ada hubungannya dengan nenek?"

Ayah menurunkan korannya, menatap Manda penuh selidik membuat Manda bergidik ngeri dan menundukkan pandangannya.

"Kamu ke makam nenek?" tanya Ayah dengan sorot mata yang berubah tajam.

Manda mengangguk dengan ragu.

"Sejak kapan kamu belajar menentang ayah?"

Suara dingin ayah, tatapan matanya yang berubah bengis membuat tubuh Manda gemetar. Gadis itu menunduk dalam menautkan kedua jarinya dengan takut.

"Manda!" sentak ayah meraih lengan Manda membuat gadis itu berdiri dari duduknya. "Kapan kamu ke makam nenek?"

"Ke ... Kemaren,"

"Ayah sudah bilang jangan pernah ke makam nenek! Apa kamu sudah budeg sekarang? Sudah tidak mau mendengarkan ayah?!"

"Yah," panggil Adit menyela kemarahan Ayah. "Aku yang antar dia,"

Tatapan Ayah menajam pada Adit. "Kamu!"

"Yah, apa salahnya sih pergi ke sana? Bukan berarti dengan meninggalnya nenek hubungan darah bisa terputus." kini giliran Reka yang menyahuti, cowok itu bukannya tak memiliki keinginan untuk pergi ke makam nenek tapi larangan ayah selalu lebih kuat dari pada keinginannya.

Ayah menghela nafas, melepas cengkramannya pada lengan Manda kemudian kembali duduk di sofa. Ia telah kalah. Entah penjelasan seperti apa yang akan ia berikan.

"Reka, Adit, Manda!" panggil ibu yang sedari tadi hanya mengamati keempatnya dari meja makan. Perempuan itu berjalan mendekat. "Ada apa ini? Kalian menentang ayah?"

"Ibu, kami tidak menentang ayah jika keputusan yang Ayah ambil itu benar." ucap Reka memberi pembelaan.

Manda di tempatnya hanya bisa terdiam dengan tubuh yang bergetar ketakutan, ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Ia tak pernah punya keinginan untuk melukai hati ayah dan ibu, tapi yang dilakukannya sekarang salah. Cewek itu mengangkat wajahnya sedikit untuk menengok wajah ayah yang mengeras. Pria itu tampak sangat kecewa dan penyebab utamanya adalah Manda.

"Ka, jangan mengajari adik kamu seperti ini!" peringat ibu dengan jari teracung dan mata mengilat marah.

"Ayah," cicit Manda, menekuk lututnya di hadapan Ayah. Manda meraih kedua tangan ayah dengan tangannya yang dingin. "Maafin Manda." ucapnya dengan air mata meluncur deras.

Reka, Adit, dan ibu menatap Manda. Gadis itu menaruh kepalanya tunduk di tangan ayah.

"Maafin Manda," sekali lagi kata itu meluncur dari bibirnya dengan penuh rasa bersalah.

Ayah menghela nafas, melepas genggaman tangan Manda kemudian memegang kedua bahu putrinya itu.

"Setiap kesalahan ada hukumannya, Manda."

Manda mengusap air matanya, "Manda nggak apa-apa kalo ayah mau hukum, Manda memang salah."

"Baiklah, ayo ikut Ayah." Ayah berdiri diikuti Manda yang kini kembali menyeka sudut-sudut matanya.

"Ayah mau bawa Manda kemana?" tanya Reka sangsi.

"Kamu tidak perlu tahu." Ayah meraih pergelangan tangan Manda, membawanya pergi dari rumah.

"Tapi Yah..."

"Sudah Reka, jangan mulai!" peringat ibu menghentikan Reka yang hendak mengejar.

Tidak punya pilihan lain, Reka menghela nafas kasar dan kembali ke kamarnya diikuti Adit di belakangnya.

🐚🐚🐚

Reka melayangkan bogeman pada bantal, cowok itu merebahkan tubuhnya di kasur dengan emosi yang memuncak.

"Gue lama-lama kabur juga dari sini." gumamnya sarat akan kemarahan.

"Lo nggak bisa kayak gitu, kak." ucap Adit ikut duduk di ranjang Reka. Diambilnya buku yang tersimpan di atas nakas.

"Kenapa nggak?" sergah Reka yang kini bangkit dari posisi terlentangnya. "Karena dia ayah kita? Bullshit!"

"Kak!" panggil Adit dengan nada peringatan.

"Ada kejadian apa di pemakaman saat kalian ke sana?" tanya Reka dengan mata menyipit.

Adit mengedikkan bahunya, "Tidak tahu, gue di mobil cuman Manda yang ke sana."

Reka berdecak kesal, meninju bantal di pangkuannya. "Hanya Manda yang akan memberitahu."

🐚🐚🐚

AmandaWhere stories live. Discover now