Lelah

7 1 0
                                    

BAB 3
🐚🐚🐚

Seperti biasa sebelum ujian di mulai ada sesi doa terlebih dahulu, tak seperti biasa kali ini saat mengingat ucapan Nilma, Manda melamakan doanya berusaha mencari keyakinan pada Tuhan yang sempat ia lupakan. Terlalu takut pada anggapan buruk orang-orang membuat Manda terus berambisi menjadi yang terbaik sampai lupa bahwa yang diberikan Tuhan sudahlah yang terbaik. Ia lupa untuk bersyukur karena itulah perasaan kurang menuntutnya terus mengejar.

Menghembuskan nafas pelan, Manda mengusapkan telapak tangannya ke wajah. Meyakinkan hati, apapun yang terjadi, apapun hasilnya ia sudah berusaha dan berdoa sisanya Allah yang tentukan.

Tangan Manda meraih mouse berwarna hitam di meja, melekatkan pandangan pada layar yang kini menampilkan Website khusus puspendikti. Setelah mengisi username dan paswordnya Manda menunggu login ke halaman berikutnya dan mengklik submit setelah mendapat kode dari guru.

Matematika.

Kalo dibilang jago, bisa. Manda sudah les matematika bahkan sebelum masuk smp. Kedua kakaknya begitu keukeuh agar Manda mendalami ilmu matematika meskipun pada awalnya membenci pelajaran itu pada akhirnya Manda hanya bisa pasrah dan mencoba menerima semuanya. Berdamai dengan rasa tak suka dalam hatinya, rasa kesal setiap kali gagal mengerjakan soal. Semua ia lakukan agar ayah juga membanggakannya seperti ayah membanggakan kedua kakaknya.

"Titik ekstrim?" kening Manda mengerut dalam, mengetukkan pensil di tangannya pada dahi. "Titik ekstrim, titik ekstrim, titik ekstrim. Ayolah!"

Manda kembali merapal kalimat yang sama, otaknya dipaksa mengingat tapi yang keluar malah wajah ayah dengan ekspresi datar yang menunjukkan bahwa pria itu sedang kecewa, Ibu yang sedih.

"Ahh!" kesal Manda yang mulai frustrasi.

"Kenapa, Amanda?" tanya seorang pengawas yang sedang berjaga.

Memasang senyum manis, Manda menggeleng. "Nggak pak." jawabnya kembali fokus pada layar komputer.

Seingat Manda ia sudah mempelajari dan menghafal betul materi fungsi. Dari mulai rumus titik puncak, titik singggung dan sekarang ia malah lupa rumus titik ekstrim. Manda menggeser nomor soal lain meninggalkan soal tadi, berharap soal selanjutnya bisa ia kerjakan.

🐚🐚🐚

Menarik nafas panjang, membuangnya pelan melalui mulut. Beberapa kali Manda melakukannya sesudah keluar dari ruang ujian. Tangannya basah oleh keringat, setelah menenangkan diri kembali Manda bangkit dari kursi panjang yang didudukinya. Berjalan sepanjang koridor yang tampak lebih sepi dari biasanya, langkahnya menuju gerbang sekolah di mana Kak Adit yang sudah menunggunya. 9 menit lalu chat dari kakak keduanya itu masuk memberitahu bahwa ia sudah sampai di sekolah Manda, tapi Manda memutuskan untuk tidak langsung menghampiri kakaknya memilih untuk menenangkan diri sejenak.

"Manda,"

Langkah Manda terhenti, membalikkan tubuh. Cowok berseragam putih abu-abu itu berdiri dengan tubuh bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat di dada.

"Kakak ngapain di sini?" tanya Manda dengan mata menyipit, untungnya tidak ada siapapun sekarang mungkin teman-teman seangkatannya ada di kantin atau entahlah sepanjang koridor sangat sepi jadi ia tidak perlu mendapat sorotan dari para cewek-cewek yang mendambakan kakaknya ini.

"Menurut lo?" balik tanya Adit dengan nada menyindir. "Ayo balik."

Menarik lengan Manda cowok itu melangkah cepat. Pasrah, Manda ikut saja kakaknya yang kini melangkah menuju gerbang.

"Gimana sama ujiannya hari ini?" tanya Adit setelah cowok itu duduk dibalik kemudi mobilnya.

Menghela nafas, Manda tak langsung menjawab. Cewek itu menumpukan tangan ke dasboard dan menenggelamkan kepalanya di sana.

"Lo nggak usah stres," tangan Adit terangkat sebelah mengusap lembut kepala Manda.

"Aku harus gimana, kak?" Manda mengangkat wajah memperlihatkan embun dipelupuk matanya.

"Aku merasa sangat lelah," lirih Manda bersamaan dengan air matanya yang mengguyur wajah.

"Kayak gitu aja lo lelah, apalagi nanti kalo udah SMA di angkasa lagi, beban tugas, kurikulum, ekskul yang diwajibkan, ini belom mikir soal kuliah loh."

Manda menelan isakannya, menatap Adit dengan raut kecewa. Selalu. Manda sudah tahu akan seperti apa tanggapan kakak keduanya itu, tapi bodohnya ia tetap saja bercerita mencurahkan isi hatinya.

"Kalo kayak gini aja lo udah ngeluh gimana nanti? Gue kasih tahu SMA ANGKASA itu sma swasta favorit," Adit tetap fokus pada jalan di depannya.

"Nggak ada yang namanya ngeluh karena lelah, kalo lo kayak gini nggak yakin gue lo bisa diterima. Payah!"

Nyes. Ada yang sakit, seperti hatinya tengah diremas. Manda menundukkan kepalanya, tidak adakah yang bisa mengatakan hal baik? Setidaknya kata penyemangat kenapa harus kalimat menyakitkan itu lagi?

Salah. Tentu saja Manda salah jika berharap salah satu anggota keluarganya mau mengerti dirinya. Kenyataan sudah terpampang jelas di pelupuk mata yang mereka pikirkan hanya kesuksesan tanpa mau tahu arti sukses yang sebenarnya bagi Manda. Bukankah setiap orang memiliki pandangan yang berbeda? Dan Manda juga memilikinya sayangnya kemerdekaan itu tak ia dapatkan. Impiannya telah dijajah dan sejak lama ia telah gagal.

🐚🐚🐚

AmandaWhere stories live. Discover now