Part 5

2.7K 379 3
                                    

10 panggilan tak terjawab dan 20 pesan dari Sang Ibu serta 2 pesan yang belum terbaca dari Momo langsung tampak di layar beranda Aerylin saat cewek itu baru saja menghidupkan ponsel.

Aerylin membuka pesan dari Momo yang menanyakan apakah dirinya sudah sampai rumah atau belum.

Menutup ponsel kembali, Aerylin merebahkan tubuhnya ke atas kasur lalu mendekap gulingnya erat. Kelopak matanya memberat, menghilangkan rasa lapar yang tadinya lebih mendominasi. Mata sipit cewek itu sudah hampir terpejam jika saja tidak ada gedoran di pintu kamarnya yang disertai suara Sang Ibu.

"Ryli, ayo makan. Jangan tidur jam segini. Pamali!"

Aerylin mengerang malas sembari bangkit. Begitu kaki telanjangnya turun dan menapaki lantai, rasa dingin langsung menyergap. Dia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore.

Dengan langkah ogah-ogahan, dia berjalan ke arah pintu. Tapi, ketika dia hendak membuka pintu, suara gedoran kembali terdengar.

"Ryli, Ya Allah. Ini anak gadis dibilangin yang bener, malah ngeyel. Bangun Ly!"

Aerylin berdecak pelan sebelum akhirnya membuka pintu kamar. Tampaklah sosok ibunya dalam balutan celemek sambil membawa spatula.

"Ryli makan sebentar lagi, Ma. Mama duluan aja sama yang lain." Ucap Aerylin yang langsung mendapat geplakan di lengannya, membuat cewek bermata sipit itu merintih sakit.

"Mama nggak suka, ya, kalau punya anak kurus kering. Nanti disangka Mama nggak becus ngurus keluarga. Sana makan, jangan pake acara diet segala."

"Bukan diet, Ma. Tapi Ryli memang belum laper."

Almira, Sang Ibu, memelototkan matanya mendengar ucapan Aerylin. "Mama udah masak, kamu bilang belum laper. Coba kalau Mama nggak masak, kamu ngadu-ngadu bilang laper. Emang, ya, anak jaman sekarang. Sukanya bikin repot orangtua. Astagfirullah,"

Aerylin hanya bisa meringis kecil. Kalau masalah mengungkit-ungkit kesalahan, Almira memang jagonya, hingga membuat Aerylin merasa bersalah dan ujung-ujungnya dia akan menuruti apapun perkataan Sang Ibu.

Seperti sekarang ini.

"Iya, udah. Ryli makan."

"Nggak perlu. Makanannya mau Mama kasih ke tetangga. Lain kali Mama nggak bakal masak lagi. Kalau kamu laper, beli makan aja atau masak sendiri."

Setelah berucap demikian, Almira membalikkan badan lalu melangkah pergi. Menghela napas terlebih dahulu, Aerylin pun menyeret kakinya menuju ruang makan. Di sana sudah terlihat Heru dan Zevanya---adiknya yang baru duduk di bangku kelas 3 SMP---serta Almira yang masih sibuk mendumel meski tangannya bergerak untuk menyiapkan makanan.

Dengan perlahan, Aerylin menggeser kursi lalu duduk.

"Kenapa makan? Mamah kira kamu belum laper." Sindir Almira sambil menyendokkan nasi ke piring Heru, Suaminya.

Aerylin nyengir. "Tiba-tiba Ryli laper, Ma. Lagipula, kasihan kalau makanannya mubazir. Jadi, Ryli ikut makan bareng aja."

"Bilang aja karena lo abis dimarahin Mama." Celetukan yang dilontarkan Zevanya langsung dihadiahi jitakan oleh Aerylin.

"Nggak usah ikut-ikutan. Lo juga sering, ya, dimarah sama Mama." Aerylin menuding adiknya menggunakan telunjuk.

Zevanya memutar kedua bola mata. "Setidaknya gue nggak sampe dijemput kayak Puteri kerajaan kalau mau makan."

"Iiih, kok, lo rese banget, sih?" Aerylin dengan sebal menarik ujung rambut Zevanya yang dikuncir kuda, membuat Sang Adik membalas dengan hal yang sama. Mereka pun terlibat aksi tarik-menarik rambut di meja makan.

Almira yang melihat perseteruan antara kedua anaknya, berdesis kesal. "Ya Allah, kalian itu ada aja yang diributin. Nggak di kamar, nggak di meja makan. Sukanya bertengkar mulu! Ke lapangan sana kalau mau bertengkar. Jangan di sini. Mama nggak suka!"

Sementara Heru hanya bisa menggelengkan kepala. "Setiap hari ada aja yang kalian ributin. Tapi kalau salah satu nggak ada di rumah, baru saling tanyain."

"Zeva yang mulai duluan." Adu Aerylin.

"Gue ngomong kenyataan kali." Jawab Zevanya santai.

Aerylin lantas melirik Zevanya, sinis. "Lo doang emang adik gue yang suka kurang ajar sama kakaknya."

"Ya, kan, karena adik lo itu cuma gue."

"Mangkanya gue heran kenapa adik gue cuma elo."

"Ya, udah. Suruh Mama sama Papa bikin anak lagi sana."

Mata Aerylin melotot dengan napas yang berembus kesal. Malas untuk membalas ucapan Zevanya, dia pun memilih melahap makanannya dengan buru-buru, agar bisa cepat kembali ke kamar. Namun, begitu makanannya tandas, Heru malah menahannya untuk pergi.

"Kenapa, Pa?" Tanya Aerylin heran.

Heru meletakkan sendok lalu menatap anaknya dengan tangan yang saling bertautan.

"Cowok yang tadi siang nemenin kamu nunggu Papa, beneran temen kamu?"

Aerylin sedikit tersentak mendengar pertanyaan Heru. Kenapa tiba-tiba Ayahnya menyinggung tentang Sakha?

"Iya, itu temen Ryli." Jawab Aerylin kurang yakin.

Heru manggut-manggut. "Papa kira dia pacar kamu. Ganteng. Keliatannya, anaknya sopan juga."

"Apa, sih, Pa. Dia cuma temen, nggak lebih." Elak Aerylin. Ya, kali dia dikira pacaran sama Sakha. Pacaran darimana coba?

"Tapi kamu inget, kan, sama pesan Papa. Kalau ada cowok yang lagi deket sama kamu, harus dikenalin ke Papa."

"Iya, Pa."

"Ada apa, Mas?" Tanya Almira penasaran dengan percakapan antara Ayah dan Anak itu. Karena seumur-umur, suaminya tidak pernah bertanya perihal cowok kepada Aerylin. Dan Putri Sulungnya itu juga bukan tipikal cewek yang memiliki banyak teman cowok.

Jadi, bukankah ini sesuatu yang langka?

"Oh, nggak ada apa-apa, kok. Cuma salah paham aja. Ya, sudah. Mas mau ke kamar dulu." Tukas Heru sekaligus menutup pembicaraan. Pria paruh baya itu bangkit dari kursi lalu berderap pergi ke kamar.

Almira menatap kepergian Heru dengan kening berkerut. Kemudian, dia menatap Aerylin penuh keingintahuan. "Maksud Papa kamu apa?"

"Masa Mama nggak ngerti. Kak Ryli tuh lagi deket sama cowok." Sela Zevanya asal, yang kontan mendapat lirikan sinis dari Aerylin.

"Kalau nggak tau apa-apa, nggak usah sotoy!"

"Dih, gue tuh mencoba untuk mengartikan ucapan tersirat Papa."

"Tapi lo nggak tau ceritanya."

"Emang ceritanya gimana?" Pancing Zevanya.

Aerylin hanya mencebikkan bibir. "Dasar kepo."

"Kalau gitu bener, dong. Lo itu lagi pedekate sama cowok."

"Ih apaan, sih. Anak kecil nggak usah ikut-ikutan."

Dan terjadi lagi. Perdebatan kedua saudara itu tidak bisa terelakkan, membuat Sang Ibu harus menelan rasa penasarannya mentah-mentah dan memutuskan untuk membereskan peralatan sehabis makan, daripada mengurusi kedua Anaknya yang entah kapan akan berdamai.

~~~

Selasa, 09 Juni 2020

Ineffable (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang