Part 9

2K 291 0
                                    

Berkali-kali, Aerylin mendengus sebal sambil memutar-mutar pensil secara asal. Bibirnya saling mengulum dengan mata menatap serentetan soal logaritma yang terpampang jelas di papan tulis. Hanya menatap, tanpa mau repot-repot menjawab. Terbukti dari buku tulisnya yang masih putih bersih, tanpa ada coretan sama sekali.

Ah, bukannya Aerylin tidak mau menjawab. Tapi otaknya memang buntu kalau sudah menyangkut pelajaran hitung menghitung tersebut.

Sangat berbeda sekali dengan Momo. Cewek yang kini sedang serius menjawab soal itu bisa dibilang 'Si Genius Matematika'. Jangankan soal logaritma, soal yang bahkan belum pernah dijelaskan rumusnya oleh guru saja bisa dia tuntaskan.

Daebak, kan?

Waktu Aerylin tanya alasan kenapa Momo bisa tau lebih dulu, sahabatnya itu menjawab kalau dia mempelajarinya dari Buku Kamus Matematika.

Tapi Aerylin nggak percaya!

Bayangin aja, padahal Aerylin juga beli buku yang sama seperti Momo, membolak-baliknya terus-menerus, berharap ada satu rumus bahkan lebih selain panjang kali lebar kali tinggi yang bisa diserap oleh otak mampetnya. Tapi, apa? Sampai bagian tengah buku tersebut robek, Aerylin tetep aja nggak tau.

Dia jadi ingat saat Momo bilang kalau mau pinter matematika, cara yang pertama adalah menyukai gurunya terlebih dahulu. Cih, boro-boro suka gurunya. Wong, dari kelas sepuluh sampai sekarang, yang ngajarin dia matematika itu Bu Sri. Guru tambun dengan tatapan bak meriam yang siap menembak siapapun kapan saja. Dan setiap ada soal matematika, Aerylin hampir tidak pernah lolos dari perangkap Bu Sri.

Dia selalu diminta untuk menjawab soal ke depan kelas. Beruntung Momo mau membantunya, sehingga dia tidak keliatan bego-bego banget sama matematika.

"Mo," panggil Aerylin pelan sambil menyenggol lengan Momo.

"Hm,"

"Bantu gue ngerjain matematikanya, dong,"

"Bentar. Kerjain dulu yang menurut lo gampang. Kalau gue udah selesai, gue bakal bantu." Sahut Momo tanpa menoleh.

Aerylin memajukan bibir bawah. "Soal yang gampang? Maksud lo satu tambah satu? Nggak ada."

Momo berdecak kecil lalu melirik Aerylin sekilas. "Soal yang ada di papan tulis, Yer. Coba dulu. Nanti gue pasti bantu, kok. Tinggal satu soal aja."

"Ya, udah. Gue tunggu."

"Keburu abis nanti waktunya. Nggak ada salahnya, kan, dicoba dulu."

"Tapi gue mana paham. Rumusnya aja nggak tau. Lagian, ya. Kenapa, sih, Bu Sri ngasih soal ulangan yang setiap bangkunya beda-beda? Kan, kesel." Dumel Aerylin bisik-bisik. Tangannya sibuk mencoret-coret buku tulis halaman belakang.

"Mungkin pengin nguji kemampuan murid-muridnya."

"Itu kalau spesiesnya kayak lo. Lah, kalau kayak gue? Nyiksa namanya!"

"Bukan gitu—"

"Waktu kalian tinggal lima belas menit lagi." Sela Bu Sri tiba-tiba, yang langsung menyentak Aerylin. Dia sontak kelabakan. Bibirnya komat-kamit menggerutu dengan tangan yang sibuk menyalin jawaban secara suka-suka, peduli amat dia salah atau enggak.

Urusan nilai, belakangan. Yang penting bukunya ada coretan aja. Itu udah bagus. Biar nggak diomelin sama Bu Sri.

"Mana, biar gue yang jawab nomor satu sampe tiga. Nomor empat sama lima coba lo tanya sama yang sepaket, biar cepet kelar." Ucap Momo begitu selesai menjawab soal sembari meraih buku tulis Aerylin yang lain.

"Hah? Sepaket?" Aerylin kebingungan.

"Temen yang paket soalnya sama kayak lo."

Mendengarnya, Aerylin otomatis manggut-manggut mengerti. Lantas, dia menoleh ke kanan, dan menemukan Bahar—Bahari Adirajasa—tengah duduk santai sambil sesekali menganggu Sachi yang berada di depannya. Membuat cewek mungil nan imut itu memberenggut kesal.

Aerylin refleks menggelengkan kepala saat melihat kelakuan cowok yang mendapat julukan 'Si Tukang Molor' tersebut.

"Emm, Har,"

Bahar kontan menoleh, lalu menyunggingkan senyum jahilnya pada Aerylin.

"Apa, Dek Ryn?"

Aerylin meringis kecil kala mendengar nama panggilan itu. Dia selalu benci kalau sudah dipanggil begitu oleh Bahar. Namun, kali ini dia tidak ingin memprotesnya seperti yang biasa dia lakukan. Ada hal yang lebih penting dari itu sekarang.

"Lo udah selesai buat matematikanya?" Tanya Aerylin bisik-bisik.

Sebenarnya, kalau boleh jujur, menanyakan tentang jawaban matematika kepada Bahar bukanlah ide bagus. Mengingat setiap mata pelajaran, cowok bertubuh tinggi besar itu tidak pernah serius mendengarkan penjelasan guru dan malah memilih untuk menggapai mimpinya di alam bawah sadar.

Tapi, Aerylin tidak punya pilihan lain. Waktunya tinggal sedikit dan teman-temannya yang lain lagi sibuk menjawab. Hanya Bahar saja lah yang terlihat santai. Jadi, kemungkinan besar dia sudah selesai menjawab.

Semoga.

Terlihat Bahar semakin memperlebar senyumannya. "Udah, dong. Gue, kan, pinter." Ucapnya sambil menyugar rambut.

"Gue boleh minta nomor empat sama lima, nggak?" Tanya Aerylin harap-harap cemas. Meski Bahar bukan tipikal orang yang pelit jawaban, tapi setiap kali diminta jawaban oleh temannya yang lain, Bahar kerap kali membuatnya menjadi berbelit-belit sebelum memberikannya.

Dan mudah-mudahan, tidak untuk kali ini.

"Boleh enggak, ya?" Alis Bahar naik turun bergantian.

Tapi ternyata dugaannya salah. Bahar tetaplah Bahar. Sampai kapanpun, dia tidak akan berubah.

"Please," pinta Aerylin dengan nada memohon.

"Gimana, ya?"

"Gue beliin siomay Bang Jul, deh."

"Dih, murahan banget hasil jerih payah gue, sampe dibayar pake siomay doang. Gue mah juga bisa beli kali."

"Terus apa, dong?"

"Waktu kalian tinggal sepuluh menit lagi. Gunakan waktu sebaik-baiknya." Bu Sri kembali bersuara, yang makin membuat Aerylin panik.

"Har, tolongin gue, lahhh," Aerylin kini mulai merengek, hingga membuat Bahar mulai kasian juga. Dia menyodorkan buku tulis matematikanya pada Aerylin, yang langsung diterima cewek itu.

"Makasi, ya. Gue tau lo orangnya baik, Har. Hehehe," Aerylin nyengir, memamerkan deretan gigi-giginya yang rapi.

"Eh, tapi ini nggak gratis. Besok sore, gue ada latihan basket di lapangan. Lo harus bawain gue siomay Bang Jul sama jus apel. Nggak ada penolakan!"

Mendengarnya, Aerylin sontak berdecih. "Katanya hasil jerih payah lo nggak semurah itu. Dasar munafik."

Kini, giliran Bahar yang nyengir. "Gara-gara lo nawarin siomay, gue jadi kepengin. Pokoknya inget, jangan sampe lupa! Kalau lo lupa, gue seret lo dari rumah."

"Iya iya,"

"Nah, gitu, dong. Kan, Abang jadi suka Dek Ryn."

Memutar kedua bola mata, Aerylin langsung fokus menyalin jawaban di bukunya. Dan tepat ketika bel pulang berbunyi, dia sudah menyelesaikan ulangan matematikanya. Spontan, Aerylin menghela napas lega. Dia berdiri, lalu menyetorkan buku jawabannya ke depan.

"Salvia, tolong bantu saya bawa buku-buku ini ke ruang guru." Titah Bu Sri tiba-tiba yang mau tak mau langsung disanggupi oleh Aerylin.

Soalnya repot kalau ditolak. Ujung-ujungnya nilai sikapnya dikurangin.

Maka dari itu, setelah Bu Sri menutup pembelajaran hari ini, dengan tenaga yang sudah diambang batas, Aerylin membawa setumpuk buku di tangannya sambil mengekori Bu Sri.

Dalam hati, Aerylin gondok setengah mati. Padahal, kan, masih ada ketua kelas yang lebih berhak membantu Bu Sri, tapi kenapa malah dia yang disuruh?

Pengin nyemil batu rasanya!

~~~

Jumat, 19 Juni 2020

Happy Friday, guys!

Ineffable (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang