[24] Dua Detak

1.4K 70 13
                                    

"Apa yang terjadi, dek? Kenapa kamu menghilang?" Tanya Ray.

Air mata Izzy jatuh setetes membasahi keyboard komputernya. Bagaimana harus menjelaskan pada Ray.

"Izzy ke Paris untuk kuliah. Kemudian bertemu lelaki ini. Pesonanya, perhatiannya, kebaikannya. Izzy terjebak dengan semua ini." Izzy memulai kisah berat yang baru dia alami.

Apa yang didengar Ray seperti sebuah mimpi. Seorang Izzy mengungkapkan sesuatu yang tidak bisa dipercaya. Ray mengenal Izzy bukan sosok seperti itu. Pengakuan Izzy meruntuhkan cara pandang Ray terhadap Izzy.

Apakah Izzy sebegitu jauh berubah sejak ia meninggalkan tanah air?

Dia tidak siap mendengar pengakuan selanjutnya. Mulut Izzy terlanjur membuka dan berkata, "Izzy menikah dengan lelaki itu. Izzy takut melakukan dosa jika berlama-lama di Paris bersama dia. Kami menikah secara agama. Semuanya selesai sekarang. Kami tidak ada hubungan apa-apa lagi."

"Kamu pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik, dek." Kata Ray menahan ludah yang tercekat.

"Izzy belum menemukan lelaki yang baik di sana."

Ada penyesalan menyelip di hati Ray. Harusnya dia menahan Izzy waktu itu. Harusnya dia menunggu.

Andai saja waktu bisa diputar kembali.

Izzy tersenyum paksa, "Tapi Izzy lega sekarang. Izzy yakin ini jalan yang terbaik di antara kami. Izzy tahu Allah membenci perceraian. Jika hubungan kami tidak bisa dipertahankan, bukankah kita sama-sama dipaksa untuk memilih jalan yang terbaik di antara kita?"

Ray mengangguk.

Senyum itu sangat dirindukannya. Senyum Izzy.

🌆 🌆 🌆

Prisil membuka blog Izzy melalui ponselnya. Beberapa hari ini dia rutin membaca kisah cinta sang suami dengan pujaannya. Ia ingin tahu ada apa dengan kedua manusia ini. Seberapa istimewa Izzy sampai ia harus berbohong demi menjemput Izzy ke bandara.

"Hai, Shane." Mau nggak mau aku menyapanya.

Shane sepertinya mau memegang tanganku, tapi urung. Ya, iyalah... Dia kan ustadz gitu. Mana bisa pegang-pegang tangan perempuan sembarangan.

"Shine, kapan kamu punya waktu?" Tanyanya.

"Ada apa? Untuk apa?"

Jujur, ya. Sejak kejadian aku jalan kaki dari Ulee Lheu ke Darussalam itu. Aku benci sekali melihat Shane. Kesal tepatnya.

"Sekarang. Kenapa?"

"Kita bisa bicara sebentar?"

"Kita kan sedang bicara."

"Maksudnya... Bicara berdua."

Hmm. Apalagi yang dia mau? Anehnya, aku tetap mengangguk juga. Rasanya seperti tidak rela jika melihat wajah Shane sedih. Meskipun kukorbankan hatiku untuk terluka lagi .

Ya ampun, ini apa?

Aku jatuh cinta? No! No!

"Sekarang bisa? Aku tahu tempat makan es krim yang enak." Tawarku.

Shane tersenyum dan mengangguk cepat. "Boleh, Shine."

Detak yang Tak Pernah Berhenti (T.A.M.A.T)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang