[6] Sebuah Nama

940 87 6
                                    

Izzy terbangun karena terkejut dari tidurnya. Dia mimpi aneh. Seolah Ray datang dan menyentuh tangannya. Menggenggamnya dan tidak melepas lagi. Jantung Izzy pun berdegup kencang. Orang yang dia lihat ketika matanya membuka juga bukan Ray, melainkan Amjad. Suaminya.

Izzy bergerak turun dari ranjang. Sehingga tempat tidur itu bergoyang dan membangunkan Amjad.

"Where are you going?" Suara serak lelaki asal Pakistan itu menahan langkah Izzy beberapa detik.

"Bathroom. Why?" Izzy bertanya balik. "Aku belum salat."

"Oh, oke. Go to offers pray first. Then back to sleep." Perintah Amjad. Jelas.

Izzy memutar bola matanya kesal. Dia menatap Amjad yang matanya masih terpejam, "Aku tahu apa yang harus aku lakukan."

Suara Amjad memelan. Tapi Izzy masih mendengarnya, "Stubborn!"

Izzy hanya menggeleng-geleng kepala dengan sikap suaminya. Dia menuju kamar mandi. Berwudhu, lalu mendirikan sholat Isya diikuti sholat tahajjud. Nama yang terlintas di benaknya adalah nama Ray. Ray lagi dan lagi-lagi Ray.

Ketika ia melipat mukena, sayup-sayup ia mendengar Amjad mengoceh. Dia pikir Amjad sedang menelepon. Perlahan dia mendekati ranjang dan berjingkat melirik suaminya. Mata Amjad terpejam. Bahkan ketika Izzy menggoyang tangannya di depan wajah Amjad, lelaki ini tidak berkutik. Dia terus menceracau.

Amjad mengigau.

Izzy mendengar namanya disebut-sebut dalam bahasa Urdu. Dia juga merapal kalimat dalam bahasa Jerman.

"How many times I have to tell you?! I love you, I love you, I love you!! Ich liebe dich!" Ceracau Amjad jelas dengan gaya khasnya. Izzy tersenyum. Hanya sebentar. Karena detik selanjutnya dia merasa sedih. "Lucy, aku tidak memiliki siapapun saat ini. Aku hanya mencintaimu saja. Tidak ada yang lain. Kamu tahu itu, kan?"

Jantung Izzy seperti akan keluar dari rongga dada. Amjad menyebut Lucy. Lucy? Siapa dia?

Jika ini disebut cemburu, Izzy mengakuinya. Dia cemburu saat ini.

Lucy.

Ada nama lain dalam hidup Amjad, lelaki yang menikahinya.

Hati Izzy teriris. Jadi, inikah alasannya?

🌆 🌆 🌆

"Bagaimana makan malam dengan Sandy semalam, bang? Pulangnya larut banget, ya?!" Prisil bertanya sambil menghidang beberapa sandwich di atas meja makan.

Ray tidak langsung menjawab. Ia memilih bercanda dulu dengan Sina dan Alfa.

"Sina harus banyak makan sayur. Biar kuat kayak popeye." Ray memperagakan gaya Popeye.

Sina tergelak, "Mama cuma kasih Sina selembar selada, Pa. Itu juga kecil. Gimana Sina mau kuat?!"

"Alfa nggak suka popeye, Pa. Alfa mau jadi power rangers." Alfa memperagakan gerakan tangan robot kesayangannya.

"Kalau begitu, kalian harus menjadi anak yang sehat dan kuat untuk Papa. Makan yang banyak. Jangan jajan sembarangan."

"Baik! Siap, Pa!" Sina dan Alfa serempak memberi hormat.

Ray mengambil setangkup sandwich dan menggigitnya. Tatapannya bertemu dengan tatapan Prisil.

"Semalam Sandy merayakan ulang tahun anaknya." Ujar Ray tanpa diminta.

Detak yang Tak Pernah Berhenti (T.A.M.A.T)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang