Bagian Ketiga

18 0 0
                                    

     Dengan langkah tergesa, setengah berlari Daramatasia memasuki halaman rumah sakit DR. Wahidin Sudiro Husodo.
     "Pak . . . !!! Ruang ICU di sebelah mana?"
     Tanya Daramatasia pada seorang Satpam.
     "Belok kiri, sekitar 25 meter sebelah kanan."
     Jelasnya.
     "Makasih pak!!!"
     Daramatasia pun berlalu.
     "Ya Allah . . . , selamatkan papaku."
     Batin Daramatasia senantiasa berdoa.
     Air mata mulai bercucuran di pipi dari keduabelah matanya, sambil menyeret langkah, Daramatasia berguman,
     "Kenapa harus papa?"
     Memang sudah beberapa waktu terakhir papanya selalu kena serangan jantung bila bekerja terlalu berat.
     Ketika memasuki ruang ICU, didapati papanya tergolek tanpa daya.
     Mama menyambutnya di depan pintu, 
     “Dara . . ."
     Mama menghambur memeluk tubuhnya yang terbalut jilbab coklat polos.
     Air mata nyonya Amelia menderas tak tertahankan.
     "Papamu Dara . . . Papamu . . . Jantungnya kambuh lagi. Kata dokter, kali ini kemungkinan sembuhnya sangat kecil. Uhuk . . uhuk . . uhuk . ."
     Daramatasia ikut menangis,
     “Mama . . . . . Kenapa harus papa?"
     Tiba-tiba terdengar suara lirih Daramatasia, tangisnya juga tak tertahan.

*   *   *   *   *

     Sejak pulang dari pemakaman papanya tadi sore, Daramatasia mengurung diri di dalam kamar, tidak mau menemui siapapun. Dia hanya keluar dari kamar kalau mau makan dan sholat. Matanya masih sembab, jilbab hitamnya sudah merangkap jadi sapu tangan.
     Kenangan manis akan kehadiran papanya telah membuat Daramatasia ingatan menerawang jauh ke belakang.
     "Papa, Daramatasia berangkat dulu ya?"
     Seru Daramatasia, dengan tas ransel di punggung, diraihnya tangan papa kemudian diciumnya dalam-dalam.
     "Assalamu alaikum."
     "Waalaikum salam. Hati-hati di jalan, jaga diri baik-baik ya?"
     Pak Agus Syafei menatap kepergian putrinya dengan seragam SMU plus jilbab putih yang melambai-lambai menambah anggun sosok putrinya itu.
     Daramatasia, putri kedua dari Agus Syafei, seorang pengusaha sukses. Daramatasia punya seabreg kegiatan disamping berbagai macam les yang diikuti. Kesibukan aktivitas remaja masjid di dekat rumah, rohis dan OSIS di sekolahnya tidak membuat prestasi akademiknya jeblok.
     Saban hari kegiatannya, berkisar pada menghadiri pengajian, kepanitiaan seminar, diskusi, bakti sosial dan lain sebagainya. Hal ini disamping karena keaktifannya di beberapa organisasi, juga dukungan dari orang tua, terkhusus papanya sangat respek dengan kegiatan-kegiatannya.
     Suatu minggu pagi di meja makan.
     Ketika mereka sekeluarga sedang sarapan.
     Ibu Amelia, sambil menyendok nasi ke piring Pak Agus Syafei, memulai pembicaraan.
     "Pa, bagaimana dengan anakmu ini, semalam dia minta izin kepadaku untuk ikut training . . . training apa yang kau bilang semalam Dara?"
     Menoleh ke arah Daramatasia,
     "Training Advokasi Perempuan ayah."
     Jawab Daramatasia singkat.
     "Ya, Training Advokasi Perempuan."
     Sambil mengaduk-aduk susunya, pak Agus berujar,
     "Wah bagus itu, kapan acaranya?"
     Belum sempat Daramatasia menjawab pertanyaan papanya, mamanya sudah menyela.
     "Bagus apanya? Apa masih belum cukup? Buat apa lagi ikut-ikutan Training Advokasi Perempuan segala, memangnya dengan keberadaan perempuan hari ini belum cukup? Apalagi yang akan kau advokasi?"
     "Bukan begitu, Ma."
     Suara Daramatasia pelan takut menyinggung perasaan mamanya,
     "Bukan begitu bagaimana?"
     Sanggah ibu Amelia.
     "Mama, itu kan belum menjamin. Lagian, dengan mengikuti training seperti itu, tentu Dara akan mendapatkan pengetahuan baru tentang bagaimana melakukan advokasi terhadap berbagai penindasan yang dialami oleh perempuan."
     Perdebatan antara ibu dan anak itu disela oleh pak Agus dengan kembali mengulang pertanyaannya,
     "Rencana kegiatannya kapan Dara?
     "InsyaAllah mulai besok Papa, acaranya berlangsung selama empat hari, jadi aku mohon restu Papa dan Mama."
     Daramatasia menjelaskan sekenanya. Suasana hening sejenak, pak Agus kembali bersuara,
     "Baiklah, Dara boleh ikut tapi kamu harus bisa jaga diri dan jangan berbuat hal-hal yang bisa membuat malu orang tua dan dirimu sendiri ya?'
     Mendengar papanya berkata begitu dengan keriangan yang sangat, Daramatasia berdiri meninggalkan kursinya dan langsung menuju papanya lalu memeluk dan menciumnya.
     Demikian pula dengan mamanya.
     Diperlakukan seperti itu oleh anaknya, ibu Amelia berkata,
     "Dasar anak manja, Papa juga sih terlalu menuruti maunya."
     Mengerling ke arah suaminya sambil tersenyum.
     Sementara itu Daramatasia sudah berlari menuju kamarnya.
     Tidak begitu lama dia sudah muncul kembali di hadapan kedua orang tuanya dengan pakaian rapi, jilbab abu-abu dipadu dengan baju terusan biru muda kembang-kembang begitu serasi dengan kulit mukanya yang putih bersih.
     "Papa, Mama, aku keluar dulu ya? Aku ke rumah Husna dulu untuk memastikan bahwa aku jadi ikut training itu."
     Sambil mencium tangan kedua orang tuanya,
     "Assalamu alaikum."
     "Waalaikum salam."
     Jawab pak Agus dan bu Amelia hampir bersamaan, mereka saling memandang dan melempar senyum.
     Ibu Amelia berbisik lirih,
     “Dara, andai kau tahu betapa kami sangat mencintaimu."
*   *   *   *   *
     Mondar-mandir di ruang tamu, sesekali melirik jam yang melingkar di lengan kanannya. Raut muka menyiratkan ketegangan, kekhawatiran dan kecemasan. Sementara di luar, hujan sangat deras.
     Sudah hampir jam sembilan malam, dia belum kembali, ada apa ya? guman pak Agus pelan hampir tak terdengar, kalah oleh suara hujan.
     Ibu Amelia muncul dari ruang tengah sambil membawa segelas susu,
     "Belum pulang juga Pa?"
     "Belum . . ."
     Jawabnya sambil menghempaskan badannya keatas sofa, terdengar desah nafasnya berat.
     "Mudah-mudahan dia baik-baik saja."
     Ibu Amelia menimpali sambil ikut duduk disamping pak Agus.
     "Sabar saja Ma, insyaAllah Dara bisa jaga diri."
     Sambil membelai istrinya.
     "Papa juga sih, anak perempuan diberi kebebasan begitu, kalau laki-laki sih ibu bisa maklum, kalau Dara kan perempuan, kalau ada apa-apa di luar gimana?"
     Suara ibu Amelia terdengar bergetar.
     Di luar hujan belum juga reda, gemuruh air laksana tertumpah dari langit. Namun suara bergemuruhnya kecemasan di hati kedua orang tua itu tak kalah dahsyatnya.
     Daramatasia belum juga muncul, sudah pukul 10.30 malam.
     Suasana mencekam makin bertambah hening karena tiada kata-kata yang terlontar dari mulut mereka berdua.
     Hanya mata mereka yang tetap lekat menatap tajam kearah daun pintu dengan penuh harap semoga terdengar ketukan dari luar diiringi teriakan salam dari buah hati mereka. Namun yang terdengar hanyalah bulir air yang susul-menyusul seakan tiada akhir.

*   *   *   *   *

     Sudah pukul 06.45 pagi, Daramatasia masih tergolek di tempat tidur dengan berbalur selimut merah jambu. Di sisi tempat tidurnya, nampak ibu Amelia duduk dengan muka kusut sambil sesekali memijit pelipis Daramatasia. 
     Daramatasia demam karena hujan semalam.
     Dengan badan basah kuyup dan menggigil, Daramatasia sampai di rumah pukul 11.05 semalam.
     Perlahan Daramatasia membuka kedua kelopak matanya, terasa berat. Samar terlihat mamanya yang menungguinya dari tadi malam.
     "Mama, kok belum tidur juga? Daramatasia tidak apa-apa Ma. Mama juga butuh istirahat, kalau Mama juga sakit bagaimana?"
     "Mama tidak apa-apa sayang, bagaimana keadaanmu? Istirahat yang baik ya? Nanti Mama buatkan bubur.”
     "Tapi Mama juga harus istirahat.”
     "Baiklah sayang, Mama tinggal dulu."
     Berdiri kemudian mengecup dahi putrinya.
     "Mama, Papa ke mana?"
     Tanya Daramatasia kepada mamanya yang sudah berada diambang pintu kamar.
     "Sayang . . . , Papamu kan harus kerja, dia masuk kantor hari ini, kebetulan beliau ada janji untuk ketemu dengan rekan bisnisnya dari Singapura."
     Jelas ibu Amelia sambil tersenyum.
     "Sebelum berangkat beliau sempat pesan buatmu supaya kamu istirahat saja hari ini, tidak usah ke sekolah."
     Ujarnya sambil berlalu.

*   *   *   *   *

     "Papa, boleh Daramatasia bertanya?"
     Katanya suatu sore di teras samping rumah.
     Suasana sore itu ditingkahi dengan suara burung perkutut yang dipelihara oleh pak Agus.
     "Boleh saja, ada apa?"
     "Tapi papa jangan ketawa ya?"
     Daramatasia setengah merajuk.
     "Iya, sama Papa sendiri curiga sekali?"
     "Dara kan aktif di berbagai kegiatan dan . . ."
     Daramatasia ragu untuk meneruskan ceritanya.
     "Lalu memangnya ada apa? Apa Dara merasa Papa membatasi kamu dalam melaksanakan aktivitas itu?"
     Daramatasia cepat melanjutkan kata-katanya.
     "Bukan itu maksud Dara, apakah Papa pernah merasa sendiri? Maksud Dara, begitu sendiri, sepertinya tidak ada orang yang peduli dengan Papa."
     "Maksudmu apa sih? Papa belum mengerti."
     "Maksud Dara, apakah Papa pernah merasa bahwa papa bekerja sendiri? Hanya Papa yang memikirkan orang lain dan orang lain tersebut tidak peduli dengan Papa."
     Pak Agus terdiam mendengarkan kata-kata anaknya, sejurus kemudian,
     "Kok kamu berpikir seperti itu?"
     "Iya papa, Dara rasa semua teman Dara membiarkan Dara bekerja sendiri. Kadang Dara bertanya, apasih yang Dara dapat dari semua ini?"
     Daramatasia mulai menyandarkan kepala di bahu papanya lalu melanjutkan,
     "Lagian, apa yang Daramatasia kerjakan kan untuk kebaikan mereka juga, bukan untuk kepentingan Dara sendiri."
     Sambil membelai anaknya, pak Agus berkomentar,
     “Dara, kalau melakukan sesuatu, seseorang itu harus ikhlas. Buat apa melakukan satu kegiatan dengan tidak ikhlas, kan itu malah rugi jadinya."
     "Coba Dara pikirkan, memangnya orang lain yang minta Dara untuk aktif di berbagai kegiatan tersebut? Kan Dara sendiri yang mau, itu pilihan Dara."
     Lanjutnya lagi.
     "Oh iya, Papa tinggal dulu ya? Papa janji mau menelepon Om Hamid sore ini."
     Papanya beranjak berdiri dan siap melangkah masuk.
     "Papa . . . , Papa . . . , Dara kan belum selesai bicara."
     Daramatasia merajuk.
     "Iya, nanti kita lanjutkan setelah Papa menelepon, kan masih ada waktu."
     "Ah Papa, Dara mau sekarang, boleh kan, Pa?"
     "Papa menelepon dulu sayang."
     Papanya melangkah meninggalkan Daramatasia.
     "Papa . . . , Papa . . . , Papa . . . . . . . . . . . ."
     Daramatasia berteriak panjang.
     “Dara . . . Dara . . . Daramatasia . . . ada apa? Istighfar sayang, istighfar.
     Tiba-tiba terdengar suara mama membangunkan.
     "Kamu mimpi sayang."
     Sambil membelai anaknya.
     "Mama, Dara rindu Papa, uhuk . . . uhuk . . . uhuk . . ."
     Daramatasia menangis dipelukan mamanya.
     "Sabar sayang, tabahkan hatimu, Mama ada di sampingmu, sekarang kamu tidur ya?"
     Menuntun Daramatasia ke tempat tidur, menyelimutinya, lalu mengecup keningnya.

Kupinang Engkau Dengan AlfiyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang