Sejak Singkeru' Rukka membacakan puisi di pesta ulang tahunnya, Daramatasia tidak lagi pernah ketemu dengannya. Padahal Daramatasia belum meminta maaf atas tindakannya menjebak Rukka untuk membacakan puisi pada malam itu, sekaligus mengucapkan terima kasih atas dipenuhinya permintaannya.
* * * * *
"Kepada saudari Daramatasia, kami mengucapkan terima kasih atas kesediaannya menjadi pemateri pada kajian kami ini."
Pasampuri mengakhiri kajian di rumah Ampa'.
"Maaf ya, ulasan saya tadi tidak terlalu mengena, soalnya saya juga baru belajar masalah itu, jadi belum terlalu paham."
Daramatasia merendah.
"Wah jangki merendah begitu, ide - ideta begitu cemerlang, sepadan dengan pikirannya Rukka."
Ahmad menimpali.
“Rukka yang anak ekonomi itu? Dia pernah datang ke sini?"
Daramatasia bertanya penuh selidik.
"Bukan pernah lagi, diami itu salah satu pentolannya kelompok diskusi ini. Cuma dia lagi kelelahan jadi istirahatki di kamar."
Pasampuri memberi penjelasan.
Mendengar penjelasan dari Pasampuri, Daramatasia cuma manggut-manggut.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka perlahan dan kepala Rukka nongol dan bertanya,
“Kenapai namaku disebut-sebut, selesaimi diskusinya kah?"
"Sudah Rukka, ini Dara natanyakan ki'."
Ahmad menjawab.
“Dara siapa?"
Tanya Rukka, keningnya berkerut.
"Yang barusan jadi pemateri kita di sini, itue orangnya."
Daramatasia yang berdiri bengong jadi kaget ketika tiba - tiba tangan Ahmad menunjuk kepadanya diikuti oleh pandangan mata Rukka.
"Wah ada tamu, maaf nah tidak kulihatki' tadi, maaf. He . . . he . . . he . . ."
Rukka cengengesan tak kalah kagetnya dari Daramatasia.
"Gimana kabar kamu Rukka, lama juga ya tidak ketemu?"
Daramatasia mencoba mencairkan suasana.
Rukka keluar dari kamar, berjalan ke arah Daramatasia,
“Baik - baikji, cuma sore ini agak kelelahanka', begadangka' semalam, jadi tidak bisaka' ikut diskusita' tadi, maaf nah."
"Tidak apa-apa, oh ya kalau boleh aku tahu kerja apa semalam?"
Tanya Daramatasia.
Bukannya Rukka yang menjawab, tiba-tiba Ahmad nyerocos,
"Biasalah, Rukka itu tepatnya jadi sastrawan, semalam dia menulis cerpen sampai tidak tidur."
"Wah, jadi kamu benar-benar rajin menulis ya? Kenapa dulu tidak kuliah di Fakultas Sastra saja?"
Pertanyaan Daramatasia diarahkan ke Rukka.
Bukannya menjawab, Rukka malah mengalihkan pembicaraan,
"Ayo deh cerita di teras, di sana agak sejuk."
Mereka berdua berjalan beriringan menuju teras depan.
Setelah menghempaskan tubuh di kursi, Daramatasia memulai pembicaraan,
“Rukka, maaf ya soal tempo hari, di malam ulang tahunku."
"Soal apa?"
Tanya Rukka penasaran.
"Tentang permintaan pembacaan puisi saat itu."
“Oh, bukanji masalah itu, kulupami juga."
"Terima kasih kalau begitu."
"Oh ya Rukka, tadi kamu belum menjawab pertanyaanku."
"Soal hobiku menulis dan pilihan tempat kuliah? Ehm, kalau soal menulis kayaknya bukan soal kita' kuliah di fakultas mana. Ini persoalan perasaan, apalagi kalau nulis cerpen atau puisi."
"Maksud kamu, kok dikait - kaitkan dengan perasaan segala?"
Selidik Daramatasia.
Rukka menghela nafas sejenak, tenangkan benak,
“Menurutkuji ini, menulis itu bukan sekadar merangkai huruf menjadi kata dan merangkai kata menjadi kalimat dan seterusnya, menulis itu upaya penggambaran diri secara merdeka, makanya kalau menuliska' kayak bebaska' mengekspresikan perasaanku."
Rukka menjelaskan secara gamblang, setelah itu suasana hening sejenak, kembali dia melanjutkan,
“Kalau tidak menuliska', kayak terpenjaraka'. Seperti kehilangan ruang ekspresika'."
Hening lagi, lalu,
“Lebih kusuka menyampaikan maksud, hasrat dan keinginan dengan tulisan."
"Kenapa begitu?"
“Kayak enjoi mentong, kadang kehilangan kata – kataka' kalau disuruhka' cerita langsung, apalagi kalau masalah penting, tapi kalau menuliska', melimpah itu kata - kata."
Lagi-lagi hening kembali menyergap.
Cahaya sore berbinar menyapa beranda depan rumah Ampa' sore itu.
Suara Daramatasia terdengar meningkahi hembusan sepoi angin senja,
"Puisi kamu bagus malam itu."
"Oh, tentang keinginanku untuk menjalani hidup secara sederhana?"
"Ya, puisi yang itu."
“Kita' juga suka puisi, Dara?"
Tanya Rukka antusias, mukanya tiba-tiba berubah cerah.
"Aku suka karya sastra, tapi hanya sebagai konsumen dan aku lebih suka cerpen dibanding puisi, maksudku diukur dari kemampuanku untuk memahami maksudnya. Soalnya aku merasa sangat kesulitan memahami kata-kata puitis."
Jelas Daramatasia.
"Oh ya? Siapa siapa penulis cerpen kita' suka? Banyak koleksi buku cerpenta'?"
"Aku suka cerpen yang agak surealis namun kritis."
Menghela nafas panjang,
"Aduh Rukka, aku harus pulang sekarang, maaf ya? Soalnya udah hampir magrib nih."
Sambil berdiri mengemasi tas ransel coklatnya yang lumayan besar dan sarat isi Daramatasia pamit,
"Teman-teman, aku pamit dulu ya? Makasih atas diskusinya."
Sambil melirik ke Rukka,
"Kapan-kapan kita diskusi lagi, assalamu alaikum."
Daramatasia berlalu seiring senja yang makin memerah, sinar mentari berpijar lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupinang Engkau Dengan Alfiyah
General FictionKisah seorang mahasiswa bohemian yang jatuh hari pada seorang aktivis perempuan