-4

35 21 29
                                    

Hai hai👋
Happy reading all.

☔☔☔

Tak pernah kurasakan sebelumnya. Apakah ini yang namanya cinta? Indah saat berseminya.

☔☔☔

Sharen hanya mengangguk. Anggap saja ini sebagai balas budinya karena cowok di depannya ini pernah membantunya.

Setelah mendapat anggukan dari Sharen, cowok itu langsung beranjak dari pintu kelas Sharen. Entah pergi kemana tanpa mengucap sepatah kata pun sebelumnya.

Terus ngapain gue masih berdiri disini? Kok bego yak, batin Sharen.

Gadis itu kembali ke dalam kelasnya dan melanjutkan tidurnya.

☔☔☔

Sesuai keputusannya tadi, Sharen akhirnya pulang sekolah bersama cowok bertubuh tinggi yang baru dikenalnya kemarin sore. Mereka kini sedang berjalan menuju parkiran sekolah.

"Sharen!" panggil seorang cowok dari arah belakang. Terdengar ayunan langkah dalam tempo cepat. Cowok itu mengejar Sharen.

Sharen dan cowok tinggi disebelahnya ini berbalik badan. Melihat siapa yang memanggil.

"Apasih, Rel?" tanya Sharen.

Verrel mengatur napasnya sejenak. Kemudian menatap cowok berkulit cerah yang ada disebelah Sharen. Ada rasa tidak suka dilubuk hatinya. Entah karena hal apa. Mungkin karena cowok itu mendekati Sharen.

"Lo pulang bareng dia?" Verrel bertanya sambil menunjuk cowok yang ada disebelah Sharen.

Sharen mengangguk pelan kemudian mendengus. "Yang sopan! Dia kakak kelas tau," protes gadis itu.

"Iyaiya maaf," ucap Verrel walau sebenarnya tidak ikhlas.

"Terus apalagi yang mau lo omongin?" tanya Sharen.

Verrel menggeleng. "Gak jadi. Besok aja. Maaf ganggu." Cowok itu melangkah pergi.

"Dih aneh banget tuh bocah. Udah yuk kak!" ajak Sharen. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju parkiran sekolah.

"Hmmm....kak," panggil Sharen saat mereka berdua sudah duduk di dalam mobil cowok itu.

"Ya?"

"Nama lo siapa? Dari pertama kita ketemu, gue belum tau nama lo."

"Ghibrano Mochalatta," jawab cowok itu sambil menyalakan mobilnya.

Namanya bagus anjay, batin Sharen.

"Terus gue manggil lo siapa? Ghibrano? Mocha? Chala? Latta?" tanya gadis itu lagi.

"Terserah."

"Biasanya dipanggil apa?"

"Iban," jawab cowok itu tanpa mengalihkan pandangannya yang fokus pada jalanan.

Sharen mengangguk. "Oke gue manggil lo kak Iban aja. Biar sama kayak yang lain," ujarnya.

"Iban aja."

"Tapi gak sopan ihhh..." protes Sharen.

Akhirnya cowok itu menoleh. "Iban aja. Gue suka," ucapnya sambil menatap tajam tepat di manik mata coklat terang milik Sharen.

"Ouh oke." Sharen terlihat kaku. Tatapan itu benar-benar tidak bisa membuatnya berkutik. Ada yang berbeda dari tatapan itu.

Mendadak dunia Sharen teralihkan oleh tatapan singkat cowok yang bernama Ghibrano Mochalatta itu. Gadis itu masih terbayang-bayang. Dia merasa seperti di hipnotis oleh tatapan cowok tersebut. Padahal sekarang, cowok itu sudah kembali fokus mengemudi.

Sharen mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil. Langit terlihat mendung. Gadis itu mendengus. Dia tidak pernah menyukai hujan. Mengapa? Karena segala peristiwa menyakitkannya terjadi saat hujan tiba.

Tapi bulan Januari tahun ini sangat sering terjadi hujan. Langit kota Jakarta seperti ingin menumpahkan tangisnya. Entah tangis bahagia, ataupun tangisan terluka.

Perlahan bulir-bulir air jatuh dari langit. Awalnya rintik-rintik. Namun semakin lama semakin lebat. Itu sangat mengganggu.

Ghibran, cowok itu memberhentikan mobilnya disebuah halte bus. Mereka pun menepi.

"Hujannya terlalu lebat," ujar Ghibran kemudian mengajak Sharen bertepi di halte tersebut.

Halte bus itu lumayan sepi. Hanya ada seorang kakek tua dan seorang anak SMP yang juga sedang menepi.

Ghibran dan Sharen duduk ditempat yang telah tersedia. Kemudian mereka saling diam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Lama-lama Sharen merasa bosan. Dia melirik ke arah Ghibran yang berada tepat di sebelah kanannya.

Cowok itu tengah melamun. Sharen melihat ada butir-butir air hujan yang terselip di rambut kecoklatan milik cowok itu. Wajah cerah dengan hidung mancung dan bibir mungil berwarna pink milik Ghibran ditatap lekat-lekat oleh gadis itu.

Tiba-tiba saja Ghibran menatapnya balik. Manik mata berwarna coklat madu milik Ghibran sangat meneduhkan. Untuk kedua kalinya membuat dunia Sharen terambil alih.

"Kenapa?" tanya Ghibran dengan wajah datarnya.

Sharen memutuskan kontak mata dengan Ghibran. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Gapapa," jawabnya. Tak ada respon dari Ghibran. Mungkin cowok ini memang sangat irit kata.

"Hujannya belum juga reda," gumam Sharen.

"Sabar," sahut Ghibran tanpa mengubah ekpresinya.

"Jujur gue gak suka hujan," tutur Sharen.

Ghibran menoleh lagi pada gadis disebelahnya. "Kenapa?" tanyanya penasaran.

"Emang lo harus tau?!" Sharen bertanya balik dengan nada ketus.

"Lagi PMS lo?"

"Enggak!" Tukas Sharen.

Kok lama-lama dia ngeselin njir. Mana mukanya datar banget lagi! Bisa di ekspresiin dikit gak sih?! Ah sebel anjer.

Tak lama kemudian Ghibran berdiri. Sharen terlihat bingung. Tapi dia malas bertanya. "Masih mau lama-lama disini?" tanya cowok itu. Sharen menggeleng. Kemudian ikut berdiri. Ternyata hujannya sudah agak reda. Mereka pun berjalan menuju mobil Ghibran.

"Kenapa lo mau ngajak gue pulang bareng? Padahal kan kita baru kenal," ujar Sharen setelah mereka berada di dalam mobil.

Ghibran mendengus sambil menyalakan mobilnya. "Mau aja," jawabnya sambil mulai menjalankan mobil berwarna silver itu.

"Tapi kan kita baru kenal. Aneh banget!"

"Mau gue turunin?" tanya Ghibran.

Sharen diam. Dingin-dingin ngeselin anjir!

***

Tentangmu & Hujan di Bulan Januari [HIAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang