LIMA

5.8K 421 8
                                    

Pagi tadi Ara mendapat telepon dari sepupunya, Dinda—anak dari adik Papanya yang berniat ke desa Pendem Asih. Sebenarnya Ara ingin melarang karena gadis itu merasa hal buruk akan terjadi, tapi ia tidak tega saat Dinda sudah berseru ingin merasakan bagaimana tinggal di desa.

Libur semester yang panjang memang membuat beberapa mahasiswa merasa bosan, itu juga yang di alami oleh Ara semester kemarin. Jika semester-semester sebelumnya Ara lebih memilih bekerja daripada hanya sekedar berdiam di rumah, maka kali ini ia bisa memanfaatkan waktu liburnya dengan pergi ke rumah kakeknya.

“Anak manja itu jadi kesini?” Tanya Aris yang baru duduk di sofa, keduanya menonton tv di ruang keluarga.

Ara menatap adiknya. “Ya, aku tidak bisa melarangnya. Lagipula dia sama manjanya denganmu, seharusnya berdamai saja dengannya akan lebih baik.”

Ck, merepotkan.” Cela Aris.

Pemuda itu memang tidak suka pada Dinda sedari dulu, gadis yang berusia satu tahun diatasnya itu sangat berlebihan dan berisik. Jika ia bandingkan, ia lebih respect pada Ara walaupun pendiam dan cenderung galak, daripada Dinda yang suara cemprengnya sangat mengganggu telinga.

“Lebih baik cari dimana buku itu, kita belum membaca keseluruhan isinya.”

Semalam mereka sama-sama ketiduran, buku tentang desa ini baru sebagian kecil yang mereka baca. Ara tertidur di sofa kamarnya, sedangkan Aris tidur nyenyak di ranjang Ara. Sungguh kedurhakaan yang signifikan, seharusnya Ara lah yang tidur di ranjang karena itu kamarnya.

Alhasil buku itu entah hilang kemana, Ara dan Aris sudah mencarinya tapi tidak ketemu.

“Apa mungkin kakek yang mengambilnya?” Gumam Aris pelan.

Ara menggeleng tak yakin. “Kamarku terkunci, tidak mungkin kakek bisa masuk.”

“Ini rumah kakek, mana tahu kakek mempunyai kunci cadangan pada tiap ruangan disini.”

Ara sempat berpikir sama, jika benar Utomo yang mengambilnya maka berakhir lah rasa penasaran mereka tentang desa ini.

Bahkan dirinya belum membaca setengah dari halaman keseluruhan, tapi reaksi Utomo pagi tadi terlihat biasa-biasa saja. Tidak membicarakan apapun mengenai buku itu, atau sekedar marah pun tidak.

Ara sudah bilang pada kakeknya bahwa Dinda akan berlibur kemari, Utomo mengizinkan karena semakin banyak orang tentu semakin ramai. Sebenarnya Ara tidak yakin jika Dinda akan betah disini, dalam hati ia membenarkan perkataan Aris tentang Dinda si anak manja.

Dua bersaudara itu diam dengan pikiran masing-masing, acara televisi tidak mampu menarik perhatian mereka. Tapi keduanya masih memikirkan satu hal yang sama yaitu misteri desa ini, Ara sudah mendapatkan informasi sedikit dari buku itu. Mengenai kesuburan tanah serta kesejahteraan desa ini tidak di dapatkan dari hasil jerih payah keringat warga sendiri, melainkan ada suatu hal yang menjaminnya, tentu harus ada harga mahal yang di bayar oleh warga.

Hanya sampai itu saja Ara dan Aris membacanya, setelahnya mereka masuk ke dalam alam mimpi masing-masing. Mereka masih bertanya-tanya apa keterkaitan buyut dan kakeknya dalam hal ini, walau bagaimana pun mereka juga harus waspada.

Suara Utomo menginterupsi kegiatan mereka, pria lanjut usia itu berjalan perlahan dengan dinding sebagai penyeimbang. Ara dan Aris segera membantu memapah kakeknya, lalu mendudukkannya di sofa.

“Kakek kenapa tidak pakai kursi roda saja?”

Utomo terkekeh kecil.

“Kakek hanya belajar agar dapat berjalan normal lagi, tidak ingin bertumpu pada kursi roda terus menerus. Lagipula kakek sudah merasa baikan, sudah bisa berjalan walaupun pelan-pelan.”

“Di antara kalian siapa yang nanti ada waktu luang, tolong antarkan kakek bertemu dengan Nak Andi.” Tanya Utomo pada kedua cucunya, matanya saling menatap bergantian antara Aris dan Ara.

Baik Ara atau Aris sama-sama tidak suka mendengar nama yang di sebut Utomo.

“Ada apa kakek mau bertemu Andi?” Tanya Aris, terlihat jelas raut tidak suka yang ditunjukkannya.

“Dia adalah dokter di puskesmas desa, kakek mau kontrol kesehatan pada Nak Andi.”

Ara sedikit terkejut mengetahui fakta bahwa Andi adalah dokter di desa ini, kalau begitu pria dingin itu adalah seorang yang jenius tentunya. Tapi tentu saja tidak akan membuat Ara terkagum-kagum lalu timbul setitik rasa pada Andi, No and Never will.

“Emm.. apa tidak ada dokter lain, selain Andi?” Jelas Ara, ia juga tidak suka pada Andi.

“Hanya ada Andi sebagai dokternya, dokter sebelumnya sudah pensiun. Desa ini adalah desa kecil, mana ada dokter yang mau mendedikasikan hidupnya dengan sukarela di desa ini. Nak Andi adalah warga asli desa ini yang mau melayani warga dengan sukarela, dokter sebelumnya pun merupakan warga lokal juga.” Tutur Utomo pada cucunya.

“Nah periksa ke dokter sebelumnya saja, kek.” Seru Ara dan Aris bersamaan.

Utomo terkekeh mendengar ucapan cucu-cucunya, deretan giginya yang mulai tanggal bahkan terlihat.

“Kalian ini kelihatan sekali tidak suka pada Andi, dia adalah pemuda yang baik lho.”

Aris mendengus malas mendengar kakeknya memuji orang lain.

“Ara, kamu beneran tidak ingat dengan Andi? dia aja masih ingat sama kamu.”

Utomo menatap Ara yang sedang mengetuk dagunya pelan, berusaha mengingat siapa itu Andi.

“Sayangnya, aku tidak ingat sama sekali.” Ara menggeleng pelan.

Oh Ya Tuhan, Ara saat itu hanyalah seorang anak kecil berusia lima tahun. Tentu saja ia tidak mengingat dengan baik masa lalunya, terlebih jika itu adalah orang tidak penting.

Seperti Andi-Andi itu contohnya, yang di ingat Ara adalah Vivian dan Putra yang memang sudah sangat dekat dengan Ara dulu.

Putra akan mengajaknya bermain di sungai atau di pinggiran hutan, setelah itu ketika keduanya lelah maka di rumah Vivian sudah menyiapkan makanan serta minuman untuk keduanya.

“Baiklah tidak apa-apa, nanti kamu juga akan ingat.” Jawab Utomo dengan senyuman di bibir keriputnya.

“Jadi, siapa yang akan mengantar kakek ke puskesmas?”

“Kita berdua.” Tukas Ara serta Aris bebarengan.

Tentu saja kompak karena keduanya tidak suka pada Andi. Mengingat bahwa ia harus berhati-hati pada orang asing, mereka tidak ingin kakeknya tertimpa hal buruk.

Utomo berbalik ke kamar untuk berganti pakaian, meninggalkan kedua cucunya yang lagi-lagi asyik berkelana di dalam pikiran masing-masing.

“Pemuda yang aneh.” Gumam Aris pelan, masih terdengar oleh Ara.

“Maksudmu, Ris?”

Aris menoleh ke arah kakaknya, ia menceritakan apa yang ia lihat.

“Saat kamu pergi kemarin, sebelumnya ia sempat datang kesini menemui kakek. Aku mendapati dirinya tengah memperhatikanmu dari jendela, lalu pergi menjauh setelah mengamatimu.”

Ehh, kamu serius?” Tanya Ara memastikan.

Lagian untuk apa Andi memata-matai Ara, seperti tidak ada kerjaan saja.

Aris mengangguk mengiyakan, sepertinya memang ada yang aneh dengan sikap pemuda itu.

“Kita juga harus waspada dengan Andi, entah apa alasannya mendekati kakek dan mengawasimu kemarin.”

“Apa tidak apa jika kita mencurigainya? Maksudku, lihat saja kakek sangat menyayanginya. Jika kakek percaya pada Andi, lalu bagaimana kita bisa leluasa mencari tahu tentangnya.” Ujar Ara ragu dengan perkataan adiknya.

“Kita bisa memikirkannya nanti, aku tidak mau kakek kenapa-napa.” Jawab Aris yakin.

Ara bahkan sampai terheran-heran melihat adiknya memperdulikan oranglain, kalau di pikir-pikir bisa menjadi durhaka Aris jika mengabaikan keselamatan Utomo. Ara tahu, meskipun adiknya itu terlihat congkak dan egois, namun di hatinya terdalam sangat menyayangi keluarganya.

(Bersambung)
Pembaca yang baik hati, tolong tekan bintang dan beri komentar membangunnya ya. Terimakasih..

MISTERI DESA SEKTE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang