SATU

12.2K 875 30
                                    

Ara menatap jalanan yang terasa menyejukkan di pagi hari, embun yang jatuh dari dedaunan membuat hatinya tenang. Berbeda dengan saudaranya yang masih menggerutu dari awal perjalanan hingga akan sampai tujuan, ia adalah Aris— adik kandung Ara yang sifatnya jauh berbeda dengan sang kakak. Jika Ara cenderung diam dan hanya berbicara seperlunya saja, sedangkan Aris tipe remaja yang susah diam.

Suasana mobil dari tadi hening, hanya suara deru mesin yang mengalun. Sepasang orangtua yang duduk di jok depan nampaknya sedang focus mengemudi, salah satunya masih tertidur pulas. Jalanan tanah yang becek menjadi penanda jika semalaman daerah ini terguyur hujan lebat, bahkan sisa rintikkan hujan tercetak jelas di jalanan aspal.

Suara lenguhan khas bangun tidur terdengar, disana perempuan paruh baya sedang menguap untuk menghilangkan rasa kantuknya. Amina menatap putra-putrinya yang sama-sama menunjukkan raut wajah khas masing-masing, ditatapnya sang putra yang menekuk wajahnya masam.

Selamat datang di Desa Pendem Asih.

Begitulah kiranya tulisan di gardu untuk menyambut orang-orang yang memasuki wilayah desa itu.

“Ma, kenapa kita yang harus kesini sih? Aris sarankan lebih baik kita bawa saja kakek bersama kita ke kota, lalu merawatnya disana.”

Amina menatap anak bungsunya, hela napas terdengar mengalun pelan. Aris memang tipikal anak laki-laki yang sulit di atur, jarang menuruti perkataan orangtuanya.

“Kita sudah membahasnya, Aris.”

Anak itu mendengus malas, ia melirik kesampingnya tepat dimana Ara duduk santai sambil mendengarkan music dari earphone-nya. Aris berpikir bagaimana kakaknya yang super jutek itu bisa sukarela menerima hal ini, ia pikir tadinya Ara akan membantu dirinya untuk menolak pergi kemari.

“Satu belokan lagi kita sudah sampai, bersikaplah dengan baik.” Pesan Hardi kepada dua anaknya.

Kendaraan beroda empat itu melaju pelan melewati jalanan gang yang hanya muat untuk satu mobil, ada sekitar empat rumah di gang kecil itu. Rumah yang mereka tuju berada di urutan kedua dari rumah-rumah yang ada disana, terlihat mencolok karena arsitekturnya masih mempertahankan gaya kuno. Mobil itu berhenti tepat di halaman luas yang di tanami oleh pohon mangga, keempatnya mulai beranjak turun untuk menemui seseorang yang sudah menantinya disana sedari tadi.

Ugh sial, sepatuku jadi kotor.” Gerutu Aris saat kakinya menapaki tanah dengan kubangan air, membuat wajahnya semakin di tekuk berkali-kali lipat.

Amina menyenggol pelan bahu anaknya, meminta agar Aris segera mendekati kakeknya.

“Salam, pak. Mina sangat merindukan bapak, bagaimana dengan keadaan bapak akhir-akhir ini?” Amina langsung mencium tangan bapaknya, orangtua Mina yang tersisa satu-satunya itu memilih hidup di desa tanpa mau pindah mengikuti anaknya.

Kakek Utomo ikut terenyuh saat bertemu putri semata wayangnya, dirinya ikut terbuai hingga meneteskan air mata.

“Bapak mulai membaik, apalagi saat bertemu kalian.”

Amina bangkit dari bersimpuhnya, ia sedih melihat orangtuanya yang kini sedang duduk di kursi roda. Bapaknya yang gagah kini terlihat lemah dengan kursi roda sebagai penopangnya, ia saudah berkali-kali meminta agar Utomo mau pindah bersama dirinya, akan tetapi orangtua itu kekeuh dengan tetap tinggal di desa kecil kelahirannya ini.

“Bapak.” Kini giliran Hardi yang menyalami tangan mertuanya, yang juga ia anggap sebagai orangtua sendiri. Karena orangtua Hardi keduanya sudah lama meninggal, Utomo pun sudah menganggap menantunya seperti anak sendiri.

“Kamu sehat kan nak? Bapak selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian.”

“Hardi sehat pak.” Jawab Hardi, ia memberi kode pada anak-anaknya untuk menyapa sang kakek.

MISTERI DESA SEKTE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang