CHAPTER 4 : Different One

541 64 21
                                    

Musim Semi.

.
.
.
Jaehyun.

Aku mempercepat langkahku menuju halte. Pukul 7 tepat di jam tanganku and for god sake, aku lelah kalau kejadian ini terulang lagi!

'Tidak tepat untuk memanjakan kakimu dude, tidak tepat', batinku. Aku segera berlari menyusul bis yang akan datang menjemput lima menit lagi. Suasana pagi begitu bagus. Jarak antara rumahku dan halte hampir sejauh empatratus meter. Biasanya bukan jarak yang terlalu jauh, namun kali ini aku ambil pusing karena itu. Halte serasa bermil-mil jauhnya karena waktu semakin mendesak. Cuaca pagi ini begitu hangat, nyaman, dan memaksaku untuk berjalan pelan-pelan sambil menghirup udara berbau pohon pinus khas pegunungan. Seandainya aku bangun tepat waktu dan tidak terlambat, aku bisa menikmati keadaan sambil membaui aroma panggangan di sekitar toko-toko kue seperti biasanya.

'Ayo Jae, kau bukan lembu kebesaran!'

Di ujung sana halte nampak di mataku, tertimpa cahaya matahari keemasan yang membuatnya nampak agung. Seakan dia adalah tempatku bernaung satu-satunya. Aku mempercepat lariku sambil mengatur deru nafas yang terdengar keras sekali hingga Seorang kakek-kakek memandangku bingung saat aku datang dan duduk di sebelahnya. Tidak terlihat peduli walau sebelumnya ia terkejut. Sedikit lega karena mungkin ia tidak bertanya macam-macam. Suaraku aneh ketika berbicara sambil tersengal-sengal, fyi.

Bis akan datang sebentar lagi, setidaknya aku punya waktu sebanyak limabelas menit di bis untuk memandangi jalanan yang tidak terlalu ramai, merenungi hal bodoh di masa lampau (yang tentunya terbesit secara tidak sengaja) sambil menyaksikan matahari makin menyongsong keatas, menyinari Livingston Peak yang berdiri gagah di kejauhan, dengan puncak bersalju layaknya sorbet vanilla, dan juga menghabiskan beberapa menit dengan damai, sebelum aku turun dan berlari lagi menuju sekolah. Aku menyeka keringat di dahiku dengan punggung tangan.

Menjadi Jaehyun itu melelahkan.

Sontak teringat bahwa semalam aku tidak bisa tidur sampai jam 4 pagi.

Ya, jam 4. Pagi.

Waktu dimana Ibu dan Ayahku mungkin sudah mendengkur di kamarnya sementara mataku masih mengerjap-kerjap memandangi langit-langit dengan gusar.

Objek yang harus disalahkan pertama kali adalah : Insomnia idiopatik-ku. Lalu kedua, obat tidur habis. Dan sebagai akibatnya, aku terlambat untuk yang kesekian ratus kalinya—berlari seperti orang kesetanan dari rumah menuju halte, dan well thanks, perut dan pahaku semakin atletis dari hari ke hari. Pertama kali aku tahu bahwa penyakit itu bakal menghantui seumur hidupku, rasanya seperti hal yang sangat buruk, terlebih lagi saat aku harus meminum obat tidur saat penyakitku mulai kambuh. Itu sungguh merepotkan—karena obatnya pahit tidak karuan.

Tapi itu dulu, kini aku sudah terbiasa.

Bus berbelok dari salah satu jalan di perempatan dan berhenti tepat di depan halte untuk mengangkutku dan juga kakek-kakek di sebelahku. Kupersilahkan ia masuk duluan, dan sepertinya kakek itu tidak perlu repot-repot berterima kasih kepadaku karena wajahnya masih tetap grumpy dan tertekuk. Aku tidak ambil pusing.

Bus melaju. Lima belas menit menuju sekolah baru, dan aku berdoa semoga tidak ada guru galak menakutkan yang berdiri di depan gerbang

Atau yang paling penting, tidak dihukum sendirian.

-----


Kelas sudah dimulai, sesuai dugaan.

Jaehyun menyandarkan punggung di dinding yang berhadapan dengan pintu kelasnya. Tertutup. Entah sampai kapan ia harus menunggu disini, sementara beberapa guru lalu-lalang di hadapannya dengan pandangan tidak baik.

Sincerely, Jaehyun || JaewinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang