CHAPTER 6 : Liminal Spaces

353 51 18
                                    

Musim Semi

Musim Semi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

Ada beberapa hal yang Jaehyun suka dari sekolahnya walaupun lebih banyak bencinya dibanding senangnya, salah satunya yaitu, mereka punya bagian belakang—biasanya para cleaning service menyebutnya gudang—yang lebih tenang dan sepi dibandingkan area-area yang lain. Akhir-akhir ini ia sering menghabiskan waktu makan siangnya di tempat itu, sendirian, atau terkadang ditemani Sicheng jika ia berkenan datang dan mau menyisihkan waktu untuk berceloteh tentang apa saja dengannya. Tempat itu sepi dan hening. Hanya ada kumpulan semak belukar yang jauhnya sepuluh meter dari spot-nya, serta pohon-pohon yang berdiri tegak. Udara selalu bergema dengan suara gesekan daun dan cicit burung, sesekali ada tupai yang iseng bergelayut manja di dahan dan kembali bersembunyi di rerimbunan.

Jaehyun tidak setiap hari mengunjungi tempat ini. Ia akan datang setiap kali merasa lelah atau ingin mengerjakan tugas, namun anehnya setiap kali ia datang kesana, tidak ada orang sama sekali. Ia sadar kenapa. Tempat itu tidak sebegitu menarik, dan kelewat sepi. Tapi bagi Jaehyun itu tempat bagus untuk tidur siang.

Setelah menghabiskan satu sandwich isi tuna dan sekaleng soda, Jaehyun menyamankan diri di kungkungan batang akasia berakar tebal. Udara hangat musim semi berhembus sepoi-sepoi, menggoyangkan poni rambutnya yang sudah sepangkal hidung—menimbulkan sensasi geli. Jaehyun selalu lupa untuk memotong rambut. Terakhir kali rambutnya dipotong adalah saat natal kemarin, yaitu sekitar dua bulan yang lalu, dan sekarang ia tidak sadar rambutnya sudah sepanjang ini. Jaehyun menyibakkan poni, lantas mengapitnya dengan tudung jaket dan menarik talinya rapat-rapat agar helaliannya tidak jatuh. Arlojinya menunjukkan pukul 10.35 yang berarti masih ada sisa waktu 25 menit lagi sebelum bel pelajaran berbunyi. Pemuda itu mengatupkan mulutnya, merasakan sensasi soda yang masih tertinggal. Jaehyun kini mahfum jika bekal sederhanannya selalu lebih enak daripada makan siang kantin yang konon katanya bergizi.

Setelah bersendawa kecil, ia menyilangkan kedua tangannya didepan dada, merapatkan diri ke pohon akasia. Rasa kantuk mulai menggerayangi, lantas manik cokelat cerahnya mulai tertutup kelopak dan ia pun mulai tertidur, ditemani bungkus kertas sandwich dan kaleng remuk di pangkuannya.

Jaehyun mendengkur pelan.

------

Saat merasakan ada sesuatu hangat menyapu wajahnya, Jaehyun mengira itu helaian daun yang jatuh, namun lama kelamaan daun itu semakin memberat dan Jaehyun merasa risih.

"Hei, hei!", sesuatu hangat itu menepuk pipinya lagi, ramping dan lembut. Jaehyun mengerjap membuka matanya saat menyadari bahwa itu adalah sebuah telapak tangan, bukan daun. Matanya yang masih memburam menelusuri si pemilik tangan hingga ke wajahnya, mendapati senyum konyol dan dua kelereng sipit yang tak kalah hitam dari rambutnya.

Ah, ternyata Sicheng.

Jaehyun merilekskan otot-ototnya seraya menguap lebar. Alisnya mengernyit ganjil saat melihat hari sedikit menggelap dan langit berwarna oranye kemerahan. Sepertinya ada sesuatu yang aneh. Jaehyun lantas cepat-cepat mengecek waktu dan membelalakkan mata, terkejut bukan kepalang saat jarum arlojinya bergulir ke arah empat. Oh astaga, bagaimana bisa ia tertidur pulas sampai sore di bagian belakang sekolah dan membolos pelajaran hampir setengahnya?. Jaehyun memandang arloji dan pemuda didepannya bergantian, masih tidak habis pikir, sementara Sicheng balas menatapnya dengan raut wajah bersalah sekaligus geli, tangan kanan berada di pundak Jaehyun, menenangkannya, sedangkan tangan satunya membawa sebuah barang yang terasa familiar bagi Jaehyun—itu tasnya.

"Kukira kau pulang sekolah tanpa tas, ternyata kau tidur disini seharian, ya"

Sicheng menaruh tas itu diatas paha Jaehyun, lalu berjongkok didepannya sambil tertawa melihat kebingungannya. Jaehyun hanya menerima sambil mendengus pelan. Ia berdiri menepuk-nepuk bagian belakangnya yang kotor dan berjalan menuju akses ke dalam sekolah dengan Sicheng yang mengekor dibelakang. Udara kencang tiba-tiba menyibakkan tudungnya yang sudah kendur, rambutnya kembali menjuntai menggelitik hidung. Jaehyun melemparnya kesamping sambil menoleh kearah pemuda Cina yang bermain-main dengan gelangnya.

"Kau belum pulang?"

Sicheng menggeleng. "Aku baru saja selesai kelas tari, lalu tidak sengaja bertemu dengan Jaehee dan menitipkan tasmu padaku. Ia khawatir"

Jaehyun mengernyit, mencoba mencerna kalimat terakhir.

"Kenapa?"

"Katanya, kau jarang pulang terlambat"

Jaehyun mencebik.

"Oh"

Mereka kini berjalan di koridor yang sepi, hanya ada suara langkah mereka sendiri dan sisanya suara sayup-sayup siswa yang masih melakukan kegiatan lain. Entah kenapa suasana sepi sekolah di sore hari membuatnya merasakan semacam sensasi lain yang tidak dapat dijelaskan. 'Liminal spaces', atau apa itu istilahnya—mengutip dari Jaehee. Cahaya matahari yang temaram mengintip dari jendela kelas yang bening, membanjiri setiap meja-meja dengan sinar keemasan, lalu merembes keluar melalui pintu yang terbuka lebar. Jaehyun membetulkan letak backpack-nya,  berjalan sejajar dengan Sicheng agar ia tidak terlihat mendahuluinya. Pemuda itu nampak mengenakan kaus longgar merah marun yang bagian dadanya terdapat bercak basah karena keringat, celananya berganti celana training, sementara sepatunya tetap Dr.Martens biru langit yang sama dengan tadi pagi.

Jaehyun mengalihkan pandangan.

"Oh ya, Jaehyun, aku ada informasi penting. Aku yakin kau belum tahu karena kau menghilang tadi siang", ujar Sicheng cekikikan, membuat Jaehyun tersenyum kecil sekaligus malu. "Apa?"

"Vernon mengadakan pesta lusa besok, dirumahnya". Sicheng memainkan gelangnya lagi. "Sebenarnya itu saja sih beritanya"

"Vernon?"

"Kau tidak tahu dia?"

Jaehyun menggeleng.

"Err, pokoknya dia salah satu anak populer disini, seangkatan kita". Sicheng membasahi bibir atasnya, lalu menatap Jaehyun dengan mata berbinar-binar. "Ia mengharapkanmu datang"

Pemuda bongsor itu tersedak ludahnya. "Apa? Aku?"

Sicheng mengangguk. "Ya, memang ada apa?"

Keheningan singkat menyelimuti sebelum Jaehyun mengatakan "Tidak apa-apa" dengan sedikit terpaksa. Saat mereka keluar dari sekolah, sebuah mobil Trax hitam dengan kaca yang terbuka separuh terparkir didepan gerbang. Si pemuda Cina itu tersenyum cerah, melambaikan tangannya kearah mobil bersemangat. "Itu ibuku". lantas melangkahkan kakinya pergi, namun ia kembali lagi dan berdiri dihadapannya. "Err, kau mau pulang bersamaku?"

"Kurasa tidak perlu, aku bisa naik bus", ujar Jaehyun halus.

Sicheng mengangguk, rambut hitamnya bergoyang seperti rumput. Ia lalu meremas lengan Jaehyun lembut seraya tersenyum lebar. Taring kecilnya lagi-lagi menyembul dari celah bibirnya yang merah. "Sampai bertemu besok!", ujarnya. Lantas meninggalkannya sendirian, tenggelam dalam rasa gembira mendadak yang tidak tampak. Dari jauh pemuda Cina itu melemparkan lambaian tangan, Jaehyun membalasnya, sebelum ia menghilang bersama mobil yang melaju melewatinya.

Pemuda bongsor itu tersenyum, ia meraba lengannya perlahan. Perasaan aneh tiba-tiba muncul seperti virus, awalnya dari lengan, lalu menyebar hingga seluruh tubuh. Wajahnya meringan, dirasakannya darah melaju cepat melalui nadi.  Jaehyun yakin itu bukan sekadar 'Liminal spaces'.





————————————

Growing up is scary, is'nt it?

Sincerely, Jaehyun || JaewinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang